Seperti hari-hari sebelumnya, matahari juga terik sekali pada pertemuan ketiga ini. Aku sampai di homestay sekitar lima belas menit sebelum kelas dimulai. Di sana sudah ada beberapa orang. Di meja panjang yang digunakan untuk diskusi, Mbah Ismanto, Mbak Misni, Mbak Kiara, dan Mas Bangkit sedang berbincang. Setelah menyapa semua orang dan bilang ke Mbah Ismanto bahwa tulisanku belum selesai, aku duduk di samping Mbak Misni dan lanjut menulis. 

Peserta memperhatikan komentar Mas Latief S. Nugraha./Foto: Kind Shella Happy M.

Teman-teman kelas mulai datang satu persatu, kecuali Lintang yang mengabarkan bahwa ban motornya bocor sehingga akan terlambat tiba. Mas Latief yang juga menyusul dan Mbak Hanna sepertinya masih sakit. Mbah Ismanto meminta untuk membaca silang draf satu sama lain dan memberi komentar. Sekitar dua puluh menit berikutnya kami gunakan untuk membaca draf. 

Setelah dua puluh menit berlalu, Mbah Ismanto membuka diskusi. Ini adalah diskusi yang santai, dibuka tanpa salam dan mengalir begitu saja. Mbah Ismanto yang baru selesai membaca draf Mbak Misni memberi komentar bahwa konflik dalam cerita belum kentara dan memberi saran untuk eksplorasi konflik yang akan dihadapi oleh tokoh utama. Misalnya, “Bagaimana jika tokoh utama dipertemukan dengan satu tokoh yang memusuhi dia?”

Mas Bangkit yang juga membaca draf Mbak Misni ikut menanggapi. Menurutnya, saat membaca cerita yang ditulis Mbak Misni, ia menjadi ingat pada cerita yang ditulisnya sendiri. Mas Bangkit memberi komentar bahwa cerita yang ditulis Mbak Misni masih terlalu eksplisit. Sepertinya, akan lebih menarik jika dibuat dengan lebih menjaga rahasia cerita.

Diskusi berlanjut pada draf cerita yang ditulis oleh Khansa. Mbah Ismanto memantik diskusi pada Mbak Tannia yang tadi diminta membaca draf milik Khansa. Menurut Mbak Tannia, cerita yang ditulis Khansa memiliki akhir yang terlalu “mendadak”. Mbak Tannia berbagi pengalamannya dalam membaca novel-novel unreliable yang biasanya memiliki distorsi waktu atau distorsi tempat yang bisa membuat pembaca menerka-nerka kondisi tokoh dalam cerita. Mbak Tannia memberikan ide pada Khansa, “Bagaimana kalau membuat pembaca yang menyimpulkan sendiri apa yang sebenarnya dialami oleh tokoh?”

Mbak Tannia yang juga membaca draf milikku belum bisa memberi komentar apa-apa karena ceritanya memang belum selesai dan belum dapat dilihat dengan jelas arahnya ke mana. Karena itu, diskusi berlanjut lagi ke draf cerita milik mbak Tannia sendiri.

Lintang memberi komentar tentang transisi dalam cerita masih terasa agak kasar, berbeda dengan draf sebelumnya yang transisinya terasa lebih mulus karena ada perpindahan ruang. Mas Dhafi yang juga membaca cerita Mbak Tannia juga ikut memberi komentar, “Eksperimentalnya masih bisa banyak dieksplor lagi.” Menurut Mas Dhafi, dalam cerpen ini sudah terlihat bahwa tokoh utama terindikasi oedipus complex. Barangkali, bisa dieksplor bagaimana tokoh “keluar” dari ranah konseptual. “Kamu bisa juga bermain di bentuk, enggak cuma di gagasan. Buat pembaca ‘terganggu’ dan berpikir ulang apakah ini cerpen atau bukan,” tambah Mas Dhafi.

Setelah itu, diskusi berlanjut pada naskah yang lain. Mbah Ismanto meminta kami semua untuk membaca draf cerita yang ditulis oleh Desy. Setelah kami semua selesai membaca, diskusi untuk draf ini dimulai oleh Mbak Kiara yang menanyakan tentang urgensi sudut pandang kedua yang dipilih oleh Desy. Penggunaan sudut pandang ini harus tepat dan konsisten. Kata Mbak Kiarra, “Dalam dialog Sarah rasanya menjadi begitu ‘berjarak’, padahal dalam cerita kembali menjadi Sarah lagi.” Sebagai salah satu referensi bentuk cerita, Mbak Kiara menyarankan Desy untuk menonton film Romeo & Juliet.

Mas Latief memberi komentar bahwa, menurutnya, logika cerita harus kembali diperhatikan. Misalnya, pada bagian perkenalan tokoh Mangir dan Sarah, agak aneh jika Mangir mengatakan tentang perjuangannya dalam melawan Mataram yang tak akan padam, padahal saat itu Sarah mengaku dari Kadiri dan Mangir belum tahu Sarah memiliki hubungan dengan Mataram.

Masih dalam pembahasan pemilihan sudut pandang orang kedua, Mas Dhafi memberi komentar, “Sudut pandang orang kedua itu naratornya tetap sama. Yang beda hanya objek yang diceritakan. Fungsi ‘kau’ di sana perlu kamu perjelas.” 

Mbak Tannia juga memberi komentar, “Sepertinya akan menarik kalau narator diposisikan sebagai penulis babad yang tahu kesalahan dari semua tokoh sehingga narator akan lebih leluasa dalam menghakimi mereka semua.”

Masih menanggapi draf cerita Desy, Mas Dhafi melihat adanya potensi naskah ini menjadi naskah drama. Aspek eksperimental juga bisa dimainkan di sana jika kedua elemen (cerpen dan naskah drama) kuat. Kata Mas Dhafi, “Kalau kami bisa masuk antara cerpen-drama, masa kini-masa lalu, dan tarik menarik antara penulis dan pembaca, akan jadi sangat manrik.” 

Kikin yang saat itu juga ikut membaca draf cerita Desy memberi sedikit komentar tentang posisi pembaca dalam cerita. Jika pembaca ditempatkan dalam posisi-posisi yang lebih dilematis, penulis dapat mudah membentuk atau membangun perasaan pembaca karena pembaca merasa ikut bermain dalam cerita tersebut.

Menanggapi diskusi kelas, Desy kembali menimbang-nimbang pilihan-pilihan yang akan diambilnya dalam membentuk cerita. Ada banyak sekali pilihan menarik yang bisa digunakan untuk mengembangkan cerita yang ditulisnya, juga potensi-potensi ekperimental yang bisa dimunculkan.

Jam hampir menunjukkan pukul lima sore, tetapi diskusi masih terus berlanjut. Kami semua membaca draf cerita yang ditulis oleh Arif sembali bikin teh dan kopi, juga makan tahu isi (enak banget) dan donat gula. Cerita Arif cukup panjang sehingga membutuhkan waktu yang lumayan untuk membacanya. Cerita yang ditulis Arif kurasa baru bisa dipahami jika kita sudah paham cerita-cerita kenabian yang memang disinggung Arif dalam cerpennya. 

Mbah Ismanto menilai cerpen Arif sebagai sebuah cerita pendek yang konvensional. Naskah yang ditulis Arif sudah bagus dan rapi. Beberapa orang lainnya juga berpendapat sama. Ide cerita yang dipilih Arif memang menarik dan gaya penceritaan Arif juga luwes, rapi, dan enak dibaca. Tetapi, percobaan-percobaan eksperimental belum bisa dilihat dengan jelas. Eksplorasi eksperimental masih bisa dilakukan Arif dalam cerita ini.

Setelah membahas draf cerita Arif, diskusi yang membahas proses penciptaan karya selesai. Naskah Mas Latief, Lintang, dan aku belum bisa dibahas karena belum banyak perubahan dari pertemuan kelas sebelumnya. Selanjutnya, Mbah Ismanto menawarkan kepada kami sesi kelas bersama Bang Raudal, dan kami setuju banget jika naskah-naskah kami ditinjau oleh Bang Raudal. Kelas ditutup. Kami lanjut ngobrol santai. Selanjutnya, kami sebaiknya menyelesaikan draf cerita ini beberapa hari lagi. 

Jam mendekati pukul tujuh malam, ngobrol-ngobrol asyik mulai diselesaikan. Satu per satu pamit pulang. Tetapi, ternyata ban motor Lintang bocor sekali lagi. Aduh!

Sampai bertemu secepatnya!

By Cut Nissa An Namira

Cut Nissa An Namira adalah cerpenis, esais, dan jurnalis lulusan Departemen Sastra Indonesia, FBSB UNY. Ia sedang menyiapkan antologi tunggal cerpen yang akan terbit pada tahun ini.