Kilap. Kilap. Kilap. Mataku silau terkena cahaya matahari. Dan perlu diketahui bahwa cahaya matahari dari pagi hingga siang berwarna perak. Kuning bisa terrona karena grading.
Pun catatanku ini jika ada yang membaca, durasinya tak akan selama kilap cahaya menyenter mata hingga aku harus memicing sesipit gajah. Hajat utamanya memang mendokumentasi ulasan draf cerpen eksperimental rekan-rekan yang diulas bersama Mbah An Ismanto. Namun, aku juga akhirnya punya hajat lain setelah Simbah memberikan tantangan untuk menuliskan cerita yang di dalamnya jangan sampai lebih dari 1.500 kata. Dan tulisan ini adalah ceritaku. Jangan protes!
Langsung saja saat aku sudah masuk ke homestay. Sudah lebih dari pukul tiga sore, namun acara belum dimulai. Padahal, sebelumnya aku sudah kalang kabut mencari cara kabur dari kantor. Biasanya memang gampang untuk bolos, tapi kali ini jajaran SPV sedang meeting di studio tempat kerjaku. Tak penting memang, jadi langsung saja kembali ke apa yang terjadi setelah aku di dalam homestay. Di situ sudah ada Simbah, Lintang, Ica, Tania, Khansa, dan Ka Misni. Mas Bangkit izin karena sedang ada garapan di Karanganyar, Mas Latief belum juga hadir hingga setidaknya pukul empat sore, dan Hanna sakit. Oh, Desy sepertinya terlambat juga.
Kukira obrolan pertama yang aku simak adalah tentang pembicaraan cerpen dengan harimau di dalamnya, seperti milik Simbah dan Ica. Lalu Ica juga sedikit bercerita tentang mural harimau yang ditemuinya sebelum ke homestay. Ketika obrolan mulai mengalir membahas draf Lintang yang baru dikirim pukul satu siang, aku tidak menyimak karena drafku mendapat komentar di email bertuliskan, “Falas atau Faisal?” Aduh, salah menulis nama karakter rasanya sungguh dungu buatku. Masa karakter utama di cerpen sendiri sampai lupa.
Setelah kami ditanya apakah ada yang membaca draf satu sama lain, tidak ada yang menjawab. Aku jujur, diam karena hanya membaca sekilas scroll.
Tak lama acara resmi dibuka, pembahasan formal dimulai. Tania menjadi target pertama Simbah untuk diulas draf cerpennya yang berjudul “Pameran Seni”. Dalam ulasan tersebut, yang aku ingat Tania ingin merubah ending-nya, namun takut nanti cerpennya akan terkesan mirip kisah Dorian Gray. Dan dalam cerpen itu, Simbah menyarankan untuk membuatnya lebih sureal lagi. Dan Tania juga setuju: dia ingin menambahkan adegan di mana karakter utama akan berada pada ruang gelap dan melakukan adegan memegang patung yang bukan patung (kalau tidak salah memegang ibunya sendiri). Serta, Simbah juga menyarankan Tania untuk pergi mengembara menyara lebih banyak kata agar tulisannya variatif ketika dibaca.
Ulasan berlanjut kepada Lintang. Karena tulisan Lintang baru dikirim jam satu siang, Simbah akhirnya memberi ulasan lebih banyak ke cerpen sebelumnya yang ada di googledrive. Menurut Simbah, bahasannya cukup sama, yaitu perihal bahasa. Kalimat-kalimat Lintang perlu diperbaiki agar menjadi lebih efektif dan memiliki maksud pasti. Sebenarnya, Lintang ingin mencoba membuat kalimat inovasi dengan pengolahan pada tataran struktur kalimat subjek-predikat. Namun, hasilnya malah subjek terkadang tidak ditemukan dalam kalimatnya. Seperti dikutip dari cerpennya yang berjudul “Ziarah ke New Delhi”, paragraf pertama kalimat kedua: “Membawa manusia bungkus menuju tempat terakhir di bumi.” Siapa yang membawa manusia bungkus coba.
Selanjutnya Desy. Dia ditantang Simbah untuk membuat cerpennya menjadi cerita sudut pandang orang kedua. Selain itu, dibahas juga tentang ketidaklogisan adegan yang selalu terjadi secara tiba-tiba. Dalam hal tersebut, Desy menyetujui dan akan mengedit lebih lanjut. Pun dalam eksperimentasi yang Desy lakukan, Simbah kembali memberikan pantulan pada karyanya kalau gambar di cerpen Desy harus bisa menjadi sebuah narasi utuh untuk menggantikan sebuah paragraf. Misalkan gambar itu dihilangkan dalam cerpennya dan cerita menjadi sumbang akibat ketiadaan gambar, maka bisa dikatakan proses eksperimentasinya berhasil (menyatukan gambar dan tulisan, tapi bukan komik). Aduh, bener gitu bukan ya tadi?
Tiba-tiba aja udah lima ratusan kata, cukup nggak ya. Cukup, nggak cukup aku lanjut dulu aja deh, ya. Seperti perjalanan ke baratnya Tang Sanzang yang tetap dilanjut walau Wukong dikeluarkan dari rombongan Biksu Tang karena membunuh wanita tua di desa (padahal wanita tua itu jelmaan siluman).
Omong-omong soal lanjut melanjutkan, cerpen Khansa agaknya masih berhubungan dengan bagaimana waktu di dalam ceritanya terajut. Pengolahan waktu dapat menciptakan efek paradoks dan itu menarik. Banyak film dan kartun yang kuingat ketika Simbah mulai mengolah cerpen Khansa, seperti Bokudake Ga Inai Machi, Steins;Gate, Edge of Tomorrow, dan lain lagi. Namun, di cerpen Khansa, Simbah mengutarakan bahwa konteks pengolahan waktunya belum jelas. Ingin menciptakan efek paradoks, namun masih linier. Diketahui selanjutnya bahwa yang dimaksudkan Khansa dalam cerpennya tersebut bukan tentang waktu, namun bayangan dalam kepala si tokoh. Dalam ceritanya, tokoh tersebut dikisahkan membeli koran berkali-kali pada sebuah perempatan jalan. Tapi, kenyataan dalam cerita, dimaksudkan Khansa bahwa tokoh itu hanya berdiam di sebuah pertigaan. Bingung? Aku juga masih bingung, jangan-jangan paradoksnya di sini. Eits, bukan ya?
Setelah dikulik lebih lanjut, ada usulan lain dan tantangan baru juga untuk Khansa. Karena tokoh dalam cerpennya itu seakan mengalami peristiwa nyata namun sebenarnya adalah imajinasi, usul yang masuk adalah bagaimana kalau Khansa mengolah tema cerpen itu dengan sangkutan isu skizofrenia.
Giliran mengulas cerpenku pun tiba. Masih separo sebenarnya. Tapi, walau separo, aku menceritakan sisa kisahnya dengan lisan. Karena cerpenku yang masih separo saja sudah memuat seribu tujuh ratusan kata, Simbah memberikan tantangan ini, “Menulis di bawah 1.500 kata dan harus tuntas kisahnya.” Dan soal pertanyaan Simbah tentang apa yang menjadi hal eksperimental dalam cerpenku karena metode sufistik sudah banyak dipakai setelah Danarto, aku menjawab kalau akan ada perbedaan penggunaan bahasa ungkap dan padanan pada kasus tokoh utama setelah menjadi kyai yang akan kental dengan nuansa arab dan saat tokoh itu masih orang kampung biasa yang percakapannya tidak muluk-muluk. Selain itu, juga aku akan mengutip beberapa ayat al-quran sebagai bagian landasan argumentasi tokoh serta ayat al-quran menjadi bagian jalinan cerita yang tidak hanya sebagai tempelan mengutip saja. Agak takut sebenarnya dalam mengambil tindakan ini, rasanya seperti memasukan Ruyi Jingubang ke telinga dan waswas apakah tongkat itu akan menjadi pasak yang bisa menahan empat muara lautan dan memecah kepala atau tetap aman saja seperti bulu telinga.
Pukul 15.58 WIB, Mas Latief datang. Walau belum mengirim, Mas Latief langsung membuat satu soal cerita pada cerpen eksperimentalnya yang berbentuk soal cerita pilihan ganda. Soal itu berisi upaya menceritakan sejarah cerpen dalam sebuah cerpen. Menarik. Dan Simbah menambahkan kalau cerpen tetap harus memiliki unsur khas seperti konflik dan kejutan. Dor. Aku terkejut saat membaca soal pertama dari cerpen Mas Latief. Pertanyaan tentang Tokoh Kita yang entah dia itu siapa, buram keberadaannya, tapi dianggap lahir pada akhir abad ke-19, berasal dari Melayu, dilahirkan oleh NN di dalam jawi, tapi tetap tidak ada kebenaran, membuatku bingung belaka. Aku betul-betul bingung bagaimana menguraikannya. Siapa sesungguhnya Tokoh Kita yang dimaksud Mas Latief?
- sastra
- syair
- cerita
- bahasa
Itu baru pertanyaan pertama. Dan masih akan banyak kejutan lainnya kupikir dari tulisan rekan-rekan dalam workshop prosa eksperimental. Namun, pada kata “ini”, kata sudah menunjukan 1.104 termasuk judul. Biar tidak terlalu panjang lagi, mohon izin untuk mengakhiri catatan ini. Dan anggaplah aku bisa menulis cerita yang selesai di bawah 1.500 kata. Terimakasih!
(Kalau dipenuhkan hingga 1.500 kata takutnya akan terkesan maksa. Walau aku juga masih menyisakan banyak coret-coretan di buku dan merasa kalau catatan ini kurang mengena pada konklusinya wkwk.)
18/08/2024 – The Ratan Homestay