Senja sudah retak dan lekas menguap—berganti gelap. Begitu juga kudapan cemplon yang nyempluk dan bakwan jagung yang rebah manja di tudung saji mirip ranjang pengantin baru itu: keduanya siap disantap. Prof. Faruk duduk di samping Zsazsa sembari berpamit, “Saya sambil nyemil, ya…” Demikianlah kelas hari itu dimulai.

Rabu petang (25/09/2024), kami duduk melingkar di pendopo kecil The Ratan. Kiblatnya tentu menghadap resi sastra kepunyaan Jogja. Sayang seribu sayang, obat nyamuk terbukti tak cukup mangkus mengusir serangga penggigit di bawah ruang tak berdinding itu. Sepertinya mereka kebal bin bebal.

Prof. Faruk memberikan wejangan untuk peserta Lokakarya Penulisan Kritik Sastra./Foto: Aris Romadhon

Namun, dengan sesekali tepukan tangan mengusir nyamuk, para peserta khidmat menyimak. Terkadang mereka menelan ludah, bersiap menanti giliran sebagai “pasien”. Iya, hari itu mirip dengan sesi konsultasi ke klinik. Prof. Faruk selaku dokter (mungkin merangkap psikolog), dan kami antre seperti pesakitan sastra.

Harapannya, kami bisa menanyakan penyakit apa yang menjangkiti draf tulisan kami, dan obat (metodologis atau teoretis) macam apa yang mujarab untuk menyembuhkannya.

[I] Thoriq, pasien pertama, berkonsultasi. Ia bimbang menganalisis perbedaan literatur sains-fiksi: di Eropa dan Amerika cenderung mengurangi “mistifikasi”, sementara ia ingin menarik perbedaannya dengan Amerika Latin dan Timur Tengah soal mistifikasi itu. Namun, risikonya, tulisan akan jadi panjang.

Pak Faruk sambil mengunyah kudapan dengan rileks menekankan bahwa masalah paling pokok adalah soal waktu. Durasi pengerjaan. “Jadi, saya kira butuh fokus pada teks yang kamu garap dengan konvensi sains fiksi yang kanon, itu sudah cukup, untuk tugas ini.” Resep selanjutnya adalah pengembangan soal perbedaan internasional dan variasi-variasi yang muncul. Juga penting, imbuh Pak Faruk, mencermati konvensi kebudayaan sebab pasti ada yang hegemonik di antara variasi itu.

[II] Masuk pasien kedua: Dhanny. Ia risau memikirkan sejarah perbedaan memoar dengan cerpen—yang ia belum tahu—dan sedang mempermasalahkan isi dari dua karya Hamsad Rangkuti, ada sisi yang mencla-mencle.

Dengan kedua tangan bersedekap di meja, Pak Faruk menandaskan pesan penting: bahwa kompleksitas tulisan tidak bergantung pada jumlah karya, tetapi pada kerumitan (kompleksitas) pikiran kita. “Kalau saya bisa menulis disertasi hanya berbekal satu puisi,” ungkapnya. Pak Faruk mencontohkan soal intertekstualitas, makna, discourse, dan yang lain-lain pada hanya satu kata “debu”. Pemberian contoh yang memukau.

Terkait mencla-mencle dalam dua karya dari satu pengarang yang sama, Pak Faruk menerangkan sisi kontradiktif yang manunggal. Contoh sederhananya masyarakat Minang Muslim: satu matrilineal, satu patrilineal. Keduanya berdamai seratus persen sebagai Muslim sekaligus Minang. Ini, Pak Faruk menyimpulkan, namanya “toleran terhadap inkoherensi”. Sebuah inkoherensi bisa bermakna positif.

[III] Kini Ruly masuk mengisi giliran, berkonsultasi mengenai narator yang kelepasan keluar dari kemahatahuannya. Sembari mengembus asap rokok, Pak Faruk menyarankan konsep ironi romantik dan romantik ironi. Disodorkannya pertanyaan mengusik, “Kenapa dia nggak pede, sebagai narator kok malah bertanya-tanya?”

[IV] Antrean selanjutnya diisi Hadi. Ia mengaku bingung sejak pertemuan sebelumnya. Terutama membedakan narator aku-yang-bercerita dengan aku-yang-mengalami. Ia pun gamang bagaimana memisahkan mana yang conscious dan unconscious.

Dokter cum “psikolog sastra” kita menyarankan agar Hadi mencari buku naratologi biografi. Juga, dalam memperlakukan karya, seorang kritikus harus jeli mengamati apakah itu simtom (gejala) atau teknik bercerita. Yang pertama murni kerja psikoanalisis, sedang yang kedua kerja kritikus sastra.

Kritikus perlu cermat sekaligus curiga pada kata. Misalnya pada kata dan frasa “belakangan ini”, “kelihatannya”, “memang”, dan lain-lain. Kata “memang” saja itu mengandung afirmasi atas kebenaran yang taken for granted. Jadi, kata itu pasti ada cantelannya.

Prof. Faruk juga menekankan, kalau seorang kritikus menyodorkan sebuah penafsiran, itu harus dipertanggungjawabkan. Dari mana tafsir itu datang, apa argumentasinya, bukti pendukungnya apa saja, analisisnya bagaimana, dan mengapa begitu. Inilah pentingnya meyakinkan pembaca, dan itu yang paling sulit. “Terpaksa harus suntik ayat itu,” Pak Faruk melempar candaan, dan para pasiennya pun sontak tertawa.

Jhoty dan Ajeng serius memperhatikan Prof. Faruk./Foto: Aris Romadhon

[V] Dan begitu gelak tawa surut, Ajeng menjadi pasien selanjutnya. Ia masih ragu apakah cerpen Pramoedya Ananta Toer mau dibawa ke realisme borjuis atau sosialis. Fokus ke sisi individualnya atau sisi berserikatnya.

Pak Faruk pun lekas menimpalinya dengan resep, “Supaya lebih sederhana, kamu kumpulkan saja dulu tinjauan pustaka yang membahas karya itu.” Kemudian beliau menjelaskan bahwa tantangan mengkaji karya yang sudah ramai dibicarakan itu terletak pada “daya-pikat” dan “kesegaran”.

Prof. Faruk menandaskan, “Intinya adalah kamu bisa memikat orang, bahwa novel atau cerpen jaman baheula itu masih layak dibicarakan sekarang. Relevan. Itu penting. Apa pun jalannya, terserah.”

[VI] Robby pun memegang mik dan menyodorkan maksud. Ia gelisah dengan ejaan yang berbeda dan apakah itu cukup menarik untuk diulas.

Prof. Faruk—dengan tampak menahan—mengalihkan fokus tetap kepada “kata”. Baginya, ejaan hanya berharga kalau membahas sejarah ejaan. Sementara bagi penyair, puisi yang berubah ejaan pun kata-katanya sama.

Beliau menerangkan bahwa tidak ada efek yang muncul dari perubahan ejaan. Bahkan sosiolinguistik tidak mempelajari itu (perbedaan antara akoe dengan aku). Sosiolinguistik mempelajari dasar sosial dari “pilihan kata”, bukan “pilihan ejaan”. Kemudian Prof. Faruk menebar banyak contoh pilihan kata dan susunan frasa dalam puisi-puisi Chairil yang diperasnya sampai ke sari-sari makna yang tersembunyi.

[VII] Masuk giliran Dhea, yang merasa kurang kritik ideologis dalam draf. Pak Faruk pun memberi gambaran bahwa ideologinya itu maksudnya “ideologi karya”. Bukan orangnya. Karya itu membawa ideologi siapa/apa? Misal perjuangan dan kepasrahan, itu bisa kelihatan ideologinya. Apakah manusia menentukan nasibnya sendiri atau tidak?

[Dan tenggorokan saya pun kering, saya putuskan menyelamatkan diri dengan air putih, ketimbang tersedak dengan tidak lucu]

Prof. Faruk pun lanjut menamsilkan dunia Pegawai Negeri. Nilai kepatuhan itu 100, dan nilai prestasi 90. Itu artinya kepatuhan lebih penting dari prestasi (perjuangan). “Makanya dia gak bisa jadi PNS,” tangannya menunjuk ke Mas Dhafi dan para pasien pun tertawa. Kepatuhan itu berarti, Prof Faruk menyimpulkan, ada ideologi feodalisme.

[VIII] Tiba giliran saya yang nyambi menulis notula. Saya masih mumet bagaimana mengawinkan antara analisis estetika paradoks dengan kelisanan (orality) ala Walter J. Ong. Dan Prof. Faruk pun menarik kembali aspek “inkoherensi” seperti di awal. Perihal ketidakteraturan juga dapat ditarik ke teori chaos.

Dalam domain filosofis, paradoks itu kelihatannya kontradiktif, namun begitu dilihat dari atas (zoom out), dia teratur. “Bisa saja kamu sebut karya ini secara keberaksaraan dia chaos, tapi dari sisi kelisanan dia teratur, misalnya.

[IX] Zsazsa kini berkonsultasi tentang cerpen Ingin Jadi Olenka karya Aprinus Salam. Ia menilik dari sisi intertekstualitas dengan Olenka Budi Darma, mengaitkannya dengan soal eksistensialisme dan sisi estetika yang sebenarnya mengandung aspek absurditas.

Dan Prof. Faruk lekas meningkahi, “Itu kebanyakan.” Zsazsa dan para pasien lainnya ikut terpingkal. Bagi Prof. Faruk, cukup intertekstualitas saja dan cari sisi ideologis yang membedakannya.

[X] Saya kira semula kelas rampung. Mendadak ada Ajeng yang membacakan titipan pertanyaan dari Marisa. Ia kesulitan mencari garis-sambung antara konsep Lacan dan Zizek. Prof. Faruk pun menyarankan fokus ke salah satu saja. Disarankannya pada Marisa agar membaca tesis Ramayda Akmal yang memakai Zizek dan naratologi.

Perut sudah berbunyi, dan sebagian dari kami mulai keluar dari lingkaran kursi. Prof. Faruk mewejang terakhir kali, “Intinya tulis dulu, eksekusi dulu sampai rampung.” Malam itu, kami menyimak ketangkasan dan daya-kupas analitis Pak Faruk yang bak resi, juga munsyi. Secara pribadi, saya merasa amat beruntung di pelosok semesta ini berkesempatan nyantrik ke beliau, bersama teman-teman yang unik dan istimewa.***

By M. Naufal Waliyuddin

Akrab disapa Madno, Naufal menulis apa saja yang menarik minatnya, terutama yang terkait isu-isu sosial budaya dan keilmuan. Hobinya mancing dan ngopi.