Senja di selatan nyatanya cerah. Padahal, hujan cukup deras di utara. Meskipun begitu, setiba di The Ratan, saya dan Mbak Marisa tidak segera masuk ke homestay. Kami keluar dari gerbang dan memotret lampu-lampu dan pepohonan. Agak lain, memang.
Tengah asyik kami memotret, Mbah Is menyusul dengan kamera dan memotret kami berdua. Tentu bukan untuk sekadar cekrak-cekrek, melainkan mengajak kami masuk. Pak Yapi sudah menunggu di homestay. Kami patuh.
Pertemuan-pertemuan Lokakarya Penulisan Kritik Sastra selalu istimewa. Juga pertemuan kelima ini. Setelah beberapa kali dengan Prof. Faruk, draf kritik kami dicermati oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, kritikus sekaligus dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.
Di dalam, Mbak Kiara, Mas Zsa-zsa, Mas Naufal, dan lain-lain telah menanti sambil berbincang dengan Pak Yapi. Dari sepuluh peserta, baru empat yang hadir. Namun, the show must go on. Satu demi satu peserta lain memang datang.
Pak Yapi memulai pembahasan dengan meninjau kembali landasan pemikiran tentang kritik sastra melalui presentasi powerpoint, diawali dengan pernyataan bahwa setelah HB Jassin tiada, sastra Indonesia begitu minim kritikus.
Dalam melakukan kerja kritik, Pak Yapi menyebut adanya kemungkinan untuk subjektivitas, terutama ketergetaran yang terasa setelah membaca sebuah karya. Sehingga, pengungkapan kritik bisa dilakukan melalui bentuk esai, tidak melulu artikel jurnal ilmiah.
Beliau menyebut dua sosok kritikus, yaitu Romo Dick Hartoko dan Arief Budiman, yang memberikan ruang bagi subjektivitas. Romo Dick berpesan agar mahasiswa sastra jangan menganalisis sesuatu yang tidak membuat hati tergetar. Sedangkan Arief Budiman mengatakan, “Jangan menulis esai dengan tertekan. Tulis sesuatu yang membuatmu terharu.”
Kritik sastra harus fokus satu persoalan yang merangsang hati sang kritikus sehingga terasa ringan dan dapat dinikmati. Namun, di sisi lain, kritik sastra harus didirikan di atas dasar-dasar ilmiah, bersifat argumentatif, dan tak boleh terbebani teori-teori. Seseorang yang melakukan kerja kritik hanya jatuh cinta dan menikmati cintanya secara ramah. Ia mampu menjelaskan kebagusan suatu karya ditinjau dari sisi tertentu.
Setelah mengutip beberapa contoh kritik yang ditulis dalam bentuk esai, termasuk esai-esai Budi Darma, Pak Yapi melanjutkan dengan mereviu draf kritik para peserta lokakarya. Menurut beliau, draf para peserta lebih mengarah ke kritik akademis dengan kecenderungan pendekatan eklektik dan pendekatan diskursif. Pendekatan eklektik meliputi psikologi, feminisme, ekokritik, dan lain-lain, sedangkan pendekatan diskursif meliputi pemikiran para tokoh baru seperti Slavoj Zizek, Bourdieu, dan lain-lain.
Pak Yapi pertama-tama membahas tulisan Jhoty atas cerpen Kutukan Lara Ireng karya Iksaka Banu yang berkisah tentang sejarah alternatif candu pada masa kolonial Hindia Belanda. Pembahasan berlanjut dengan draf Naufal atas cerpen Mas Dhafi. Plot, dialog, dan ketegangan tak sepenuhnya memberontak, tetapi aspek linguistik menunjukkan pemberontakan. Perkonjungsian di dalam cerpen itu menampilkan estetika paradoks yang relevan dan menarik. Draf Mas Naufal, menurut Pak Yapi, memang menarik secara teoretis dan telah menemukan semacam kemurungan atau melankolia ala Freud. Pak Yapi menyarankan untuk melacak dan mengkaji kembali soal kemurungan itu.
Saya dan Marisa salat dulu, jadi untuk sementara notula ditulis oleh Mas Naufal di buku tulis saya.
Danny dua cerpen karya Hamsad Rangkuti, Malam Takbir (1993) dan Reuni (1994). Ada kesamaan yang menonjol dalam dua karya ini dan menimbulkan pertanyaan apakah hubungan di antara keduanya adalah transformasi atau revisi. Dua karya ini memiliki awal sama, tetapi akhir beda. Pembahasannya mempertimbangkan pula perbandingan dua karya A.A. Navis, yaitu Datang dan Perginya dan Kemarau.
Menurut Pak Yapi, draf Danny merupakan analisis akademik dengan perspektif teoretis yang cermat dan berhasil. Beliau menyarankan agar pertanyaan di awal, kalau bisa, menjadi jawaban di akhir. Draf Danny cermat dan berhasil membaca kedua cerpen serta membandingkan dan mempertimbangkan penempatannya dalam sejarah sastra. Hanya, kesimpulan Danny kurang tegas.
Ruli mempersoalkan kata “entahlah” yang secara naratologis menggelisahkan. Mengapa ada keraguan narator, tanya Ruli. Pak Yapi menganjurkan untuk meneliti kembali landasan teori-teori naratologi.
Setelah saya dan Mbak Marisa kembali dari salat, ulasan Pak Yapi pun berlanjut ke tulisan Mbak Marisa. Terhadap tulisan Marisa yang membahas karya A.A. Navis, Datang dan Perginya dan Kemarau, Pak Yapi menyarankan untuk melihat dua karya ini sebagai karya yang mandiri. Karena, keduanya bisa memiliki kecenderungan yang berbeda. Pada kisah tersebut, apabila dibaca mengikuti logikanya, ada semacam legitimasi ayah, dilema hukum, dan kemanusiaan. Dalam pendekatan Slavoj Zizek, menulis itu sendiri adalah tindakan radikal dari jeratan simbolis seorang sastrawan untuk memasuki wilayah The Real.
Sampailah pada tulisan saya tentang cerpen karya Pram, Dia Yang Menyerah. Menurut Pak Yapi, Posisi Pram sama dengan A.A. Navis yang memihak pada kemanusiaan. Saya sendiri mempersoalkan realisme sosialis dan realisme borjuis di dalam cerpen itu. Publik mengenal Pram sebagai sastrawan realisme sosial, namun dalam cerpennya ini, saya sandingkan dengan penemuan gejala teks yang seolah mengarah ke realisme borjuis dengan persoalan individualisme yang begitu menonjol.
Pak Yapi berkomentar bahwa tulisan saya yang panjang betul itu sebagian besar membahas naratologi yang agak terperinci. Beliau memberi masukan agar saya memberi penjelasan mengenai realisme borjuis agar lebih eksplisit. Beliau juga meminta untuk membandingkan dengan karya-karya Pram yang lain atau karya realisme sosial pengarang lain.
Sebagai pungkasan, Mas Zsa-zsa mempresentasikan gagasannya tentang cerpen karya Aprinus Salam yang berjudul Ingin Jadi Olenka. Cerpen ini berkaitan dengan Olenka karya Budi Darma. Menurut Pak Yapi, Aprinus memang menulis cerpen berbasis teori. Pendekatan yang bisa dipakai adalah pendekatan intertekstual dan pendekatan diskursif. Kecenderungan Aprinus memanglah melakukan dekonstruksi terhadap karya-karya.
Usai sudah pertemuan malam itu dengan Pak Yapi. Beliau menutupnya dengan sebuah kalimat: “Kalau tidak ada kritik, perkembangan sastra di Indonesia menjadi tidak sehat.”
Saya menangkapnya sebagai penyemangat belajar kami, yang disebut-sebut beliau di awal pertemuan, sebagai “hamba-hamba kebudayaan”. Memanglah kami ini hamba-hamba kebudayaan yang sedang belajar jatuh cinta dan mencari getaran-getaran di dalam karya sastra yang dibacanya.