Jumat, 13 September 2024
0
Di tengah jalan, saya jadi mendengar deru mesin Wuling Air ev dan pisuh klakson yang menggila begitu lampu merah menjadi hijau. Karena grup WA Lokakarya. Sebelumnya, saya telah mendengar keluh notifikasi serta kegelisahan kaca spion ketika admin grup menunjuk saya menjadi notulen pertemuan perdana. Tapi, saya bisa apa selain kini sudah pukul 16.28 dan saya masih di Condongcatur. Maka, semakin ngebut adalah keputusan paling bijaksana.
Untungnya saya tidak telat—sebenarnya kelasnya sedikit mundur. Maka, silakan, inilah catatan dari saya.
1
Pak Faruk (PF) membuka dengan dua pendekatan umum dalam kritik sastra menurut Rene Wellek dan Austin Warren, yakni (i) absolutisme dan (ii) relativisme. Seperti namanya, absolutisme mengacu pada sastra klasik/kanon yang memuat ketunggalan makna, lantas menggunakannya sebagai pedoman/alat pengukur, katakanlah dalam menentukan keluhuran. Sebagai contoh, PF memberi contoh pada kalimat Jawa ilang Jawane, dengan keterangan bahwa kata “Jawa” yang kedua, yaitu Jawa masa lalu, adalah representasi dari sastra klasik/kanon yang kemudian digunakan untuk mengukur kata “Jawa” yang pertama, yaitu Jawa masa kini. Sedangkan relativisme adalah kebalikannya: tak ada nilai/subjektif. Jadi, misal dalam satu ruangan terdapat 10 kepala, akan ada 10 nilai. Bisa dikatakan bahwa relativisme lebih cair ketimbang absolutisme.
Namun PF memberi tawaran lain, yakni perspektivisme—saat PF mengatakan ini, saya kaget sekali, entah karena apa. Perspektivisme menyimpan ide fenomenologi sehingga, dalam pendekatan ini, karya sastra dilihat dari sejarah pengungkapan sastra dengan kaidah-kaidah sejarah sastra.
(Pada bagian setelah ini PF menerangkan materi menggunakan PPT. Mungkin panitia dapat bantu mengirim PPT-nya ke grup.)
Kemudian, PF menjelaskan tiga bagian studi sastra, yakni (i) teori sastra (merumuskan hakikat sastra universal), (ii) sejarah sastra (kaidah-kaidah yang berlaku pada periode tertentu), dan (iii) kritik sastra (mengkaji secara face to face terhadap karya sastra tertentu). Menyoal kritik sastra, PF menegaskan bahwa misi utama seorang kritikus adalah “menemukan”. PF mencontohkan HB Jassin sebagai orang yang “menemukan” Chairil Anwar, yang dianggap sebagai yang baru. Agar dapat “menemukan” kebaruan, seorang kritikus musti punya kesadaran sejarah sastra dan teori sastra, yang mana masing-masing akan ada hubungannya dengan kondisi sosial dan estetika pada bagian selanjutnya.
(Saya sebenarnya menunggu-nunggu kapankah kiranya PF berhenti barang sejenak, tetapi tampaknya PF semangat sekali sehingga saya menunggu kesia-siaan belaka.)
Selanjutnya adalah sastra dan lingkungannya. Pada bagian ini, sastra memiliki beberapa peran, antara lain (i) sastra sebagai karya seni (persoalan komposisi), (ii) sastra sebagai seni verbal (bahasa sebagai bahan dan model/kaidah bahasa; di sini, PF mengibaratkan bahasa seperti cat bagi pelukis atau tubuh bagi penari), dan (iii) sastra sebagai lembaga sosial (bagian integral dari masyarakat; melaksanakan fungsi tertentu: afirmatif, negatif, atau alternatif; juga sebagai gaya penyampaian pengalaman yang khas/estetik, artinya mengorganisasikan dunia pengalaman menjadi literer.)
Lantas masuklah kita pada kritik. Seyogyanya kritikus mustinya memiliki critical thinking. Dengan artian begini: tidak bisa menerima kenyataan begitu saja atau apa adanya. Ada keharusan untuk mencari sisi-sisi lain yang melampaui fenomena indrawi atau yang sedang menjadi common sense. Pokmen kudu ora umum: juga memiliki kemampuan untuk menjaga jarak dengan masyarakat sebab, ketika berada dalam kerumunan, kita tak dapat melihat apa-apa selain leher belakang orang lain yang kebanyakan kotor itu. Dapat pula dikatakan mampu keluar dari dunia pengalaman untuk membuat refleksi yang komprehensif: berusaha mencari apa yang tak terlihat oleh orang kebanyakan.
(Sampai saat ini, PF belum juga menunjukkan gelagat ingin istirahat: minum atau merokok. Nihil.)
Lalu, aneka kritik terbagi menjadi tiga: budaya, ideologi, dan estetik. Pada aspek budaya dan ideologi, kajian akan berkisar pada persoalan menemukan hubungan antara estetika dengan konteks sosial, sedangkan pada aspek estetik akan menyoalkan komposisi, seperti intertekstualitas dan pendetilan genre.
Oke. Lanjut, PF kali ini fokus ke komposisi. Dalam kaidah bahasa, tujuan utama adalah seleksi/kombinasi satuan-satuan bahasa dan kemungkinan estetiknya untuk menghidupkan bayangan angan-angan. Sedangkan intertekstualitas (teks dan kanon) terbagi menjadi tiga, yaitu (i) afirmatif (setia dengan kanon), (ii) negatif (sepenuhnya berbeda dengan kanon), dan (iii) negosiatif (ya, negoisiasi, blended lah, ya.) Menyoal genre, terdapat empat aspek penting. Pertama, aktualisasi kaidah genre tertentu. Kedua, penyimpangan dari kaidah genre tertentu. Ketiga, kombinasi/modifikasi kaidah genre tertentu. Terakhir, penciptaan kaidah genre yang baru.
2
Sebagaimana telah disampaikan, kritik dapat dikerucutkan menjadi kritik sosial dan kritik estetik. Dalam kritik sosial, terdapat tiga pembagian, yakni (i) afirmatif: mengafirmasi tatanan sosial yang hegemonik dan taken for granted; seperti contoh, cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang menerima Islam modern atas Islam lama. Tetapi, kita musti tetap hati-hati sebab, kata PF, teks nggak pernah sepenuhnya setia pada kaidah-kaidah umum. Di sisi lain, sastra/seni memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada dunia pengalaman, maka seyogyanya para kritikus musti berorientasi pada dunia pemahaman. Lantas PF ber-quotes, “Pemahaman itu seperti jaring. Pasti ada yang merucut (saat kita menjaring sesuatu, katakanlah segerombolan ubur-ubur). Nah, kritikus nggak boleh abai pada yang merucut itu.” Kembali pada kritik sosial, nomor (ii) adalah negatif: menegasikan tatanan sosial, dan (iii) negosiatif: ya, blended tadi.
Kita beralih ke kritik estetik. Aspek pertama adalah formalisasi, yakni membakukan elemen kehidupan (sampai orang-orang tinggal menghafalkannya saja). Formalisasi adalah tentang melepaskan estetika menjadi sekadar bentuk teknis belaka. Kemudian aspek kedua adalah substansialisasi, yakni mengintegrasi persoalan substansial dalam masyarakat.
(Akhirnya, gelagat penutupan muncul—sungguh tak dapat saya terka. PF pun minum, menyulut udud, lantas membuka sesi tanya jawab.)
3
T (Madno): “Pak, apakah epilog dan kata pengantar dalam sebuah kumpulan cerpen, Kumcer Pilihan Kompas misalnya, adalah kritik sastra?”
J: “Yang penting adanya dalam sebuah kritik sastra adalah judgement, penghakiman, terhadap kenyataan. Enggak kok menerima apa adanya. Kalau nerima itu biasa disebut positivisme. Nah, judgement bisa lahir dengan latar belakang sosial dan juga estetik (sekaligus). Pokoknya kalau nggak nge-judge, jatuhnya deskriptif.
Hari ini, kritik sastra sedang dilanda krisis. Hal ini disebabkan masyarakat plural yang cenderung relativisme dalam menilai sesuatu, padahal, dalam sosiologi mestinya tetap ada ukuran ataupun judgement. Juga (yang menjadi sebab) karena tren pasar. Sing penting payu.
Jadi begitu ya, Mas. Jawabannya bergantung pada yang epilog dan kata pengantar yang dibaca; apakah ada judge di sana? Begitu.”
T (Thoriq): “Apakah ada batasan kaidah-kaidah sosial untuk membedah karya sastra?”
J: “Ada Kritik Estetik, ada Kritik Sosial. Seharusnya, keduanya itu digabung. Kita nggak bisa menganggap sastra sebagai cermin belaka tanpa mempertimbangkan realita sosial, seperti bagaimana pengombinasiannya, dan lain-lain. Sebaliknya, kalau hanya fokus pada sisi estetis, jatuhnya akan terlalu formalistik.
Soalnya, setiap aspek yang dikaji memungkinkan untuk punya sisi sosial dan estetis sekaligus. Sebagai contoh, dalam sebuah karya yang dibingkai, karya adalah substansi (sosial), sedangkan bingkai adalah bentuk (estetik). Dalam melihat sesuatu, sastra musti intransitif, tidak mengabaikan bingkai. Kira-kira begitu, Mas.”
T (Simbah An): “Jadi, Prof, resensi buku dalam media masa mainstream cenderung berat pada kritik sosial. Nah, apakah yang seperti itu tetap bisa menjadi landasan untuk nasib kritik sastra ke depannya?”
J: “Ya, itu memang masalah. Yang bahaya adalah kalau orang-orang berpikir bahwa kritik estetik itu tidak ada, karena ya tidak ada pelajarannya juga (kembali pada analogi bingkai). Dan yang lebih bahaya, jangan-jangan redaktur memang sukanya bentuk yang seperti itu.
Sebaiknya, kita berpegang pada keseimbangan antara kritik sosial dan kritik estetik serta berusaha membuktikan kekuatan relasinya. Begitu.”
T (Raihan Robby): “Pak, Sejarah Sastra kita ‘kan problematis. Kita tahu bagaimana Balai Pustaka (BP) menciptakan narasi “bacaan liar”. Maka, masalah kanon ‘kan masalah pasar.
Dalam puisi Subagyo Sastrowardoyo yang berjudul Hotel, yang menceritakan sulitnya punya anak lima, itu ‘kan nggak sesuai dengan KB-nya orba.
(Di sini mungkin yang berusaha dibangun oleh Penanya adalah bagaimana kekuasaan memengaruhi kanon itu sendiri, serta menanyakan apakah premisnya masuk ke kritik estetik. Itulah pembacaan saya. Kalau keliru, monggo diluruskan. Maklum ya, Slur.)
J: “Menyoalkan BP, itu adalah kritik sosial. Namun, apabila mengkaji bagaimana “bacaan liar” memiliki kriteria yang sama dengan BP itu sendiri, yakni realis, dan berupaya membuktikan nilai estetika “bacaan liar” itu lebih tinggi ketimbang BP, maka akan dapat dua-duanya (kritik sosial dan kritik estetik). Soalnya, yang diamputasi oleh BP itu adalah juga estetikanya.
Lalu, apakah mempunyai lima anak dan Keluarga Berencana itu kritik? Saya kira itu persoalan sosial. Begitu.”
T (Dhea): “Apakah kritik teks itu gerbang untuk kritik estetik?”
J: “Ada tiga lapisan karya, (i) teks estetik yang mengandung makna subjektif, (ii) konteks literer estetik, barulah kemudian (iii) konteks sosial. Karenanya, kritik estetik bisa dibilang gerbang untuk kritik sosial.
Nah, soalan teks begini: teks adalah bagian dari kritik estetik, tetapi kritik estetik tidak musti teks karena di dalamnya ada konteks generik.”
T (Ruly): “Pak, kalau berjarak dengan apa yang akan dibedah, di manakah kritikus bersandar?”
J: “Begini. Saat kita mengambil jarak, kita bisa melihat lebih. Kita jadi punya wawasan mengenai kemungkinan-kemungkinan lain. Artinya, lanskap yang dilihat jadi lebih menyeluruh.
Ingat, hampir semua inovasi dalam rentangan sejarah sastra Indonesia itu meniru. Karena kritikus misi utamanya adalah menemukan, pengetahuan dan wawasan itu penting. Itulah artinya jarak, saya kira.”
4
Saat kelas usai, saya lanjut mengobrol bersama Mas Madno dan Mas Ruly. Lantas datang Mas Dhafi, bersama Mas Kind dan Mas Aris. Kami pun melingkar, membicarakan hal yang tak mungkin saya buka di sini.
Sebelumnya, saya telah menantang Mas Dhafi untuk berduel e-football. Saya pun mengingatkan, mumpung sedang selo dan butuh hiburan. Ia setuju saja.
Kami bermain sebanyak tiga kali: dua kali seri dengan skor satu sama, sedangkan sisanya adalah pembantaian. Kalian sepatutnya tahu siapa pembantai dan siapa korbannya. Ini sepenuhnya saya serahkan pada pembaca. Sebab, kini saya mendengar hela napas genteng pendopo dan tetes kopi yang tumpah dari meja. Juga sengatan empat nyamuk yang menusuk-nusuk!
Sekian.