Tulisan ini berisi saran serta kendala yang dihadapi oleh teman-teman
Pikiran saya tak tenang ketika seorang teman tempo hari menunjuk saya untuk menjadi penulis notula kelas hari ini. Tepat pukul 14.47 WIB, saya terjaga dari tidur. Mengingat tugas sebagai penulis notula dan waktu yang semakin mepet, jemari saya segera mencari aplikasi ojek online.
Setelah ojek online dipesan, barulah kaki ini melangkah ke kamar mandi–sekadar membasuh muka–lalu bersiap-siap. Ojek online melaju mengikuti irama lalu lintas siang. Suara klakson motor di lampu merah membuat saya jengkel. Hal itu dipicu karena saya mengejar waktu untuk menunaikan tugas sebagai penulis notula.
Magrib hampir menampakkan wujudnya. Prof. Faruk sebagai pemateri tak kunjung datang. Tak lama kemudian, Mas Dhafi menyampaikan bahwa kelas hari ini akan diganti dengan pendampingan. Tulisan yang dikirimkan oleh peserta kelas akan diberi masukan satu per satu.
Sebagai pengganti pemateri hari ini, Mas Dhafi membahas tulisan para peserta, dimulai dari tulisan yang terletak paling atas dalam kumpulan google docs. Ajeng, penulis, menuturkan kendala yang dialaminya.
Raut wajahnya tampak bingung. Ia menuturkan, “Saya bingung kira-kira poin penting mana yang akan dituliskan.” Jemari Mas Dhafi menggeser kursor laptopnya membaca baris per baris tulisan Ajeng. Tak lama berselang, ia mengatakan, “Kamu bisa memilih poin penting untuk struktur estetik agar menguatkan argumen.”
Ajeng menyatakan bahwa di dalam cerpen pilihannya, Pramoedya Ananta Toer cenderung mengkritik mental orang-orang yang terjajah untuk melihat konteks kemanusiaannya.
“Agar tulisan tidak melebar jauh, alangkah baiknya jika fokus pada satu isu,” ucap Mas Dhafi.
Di sela diskusi mengenai tulisan Ajeng, seorang teman melayangkan kalimat tanya, “Bagaimana caranya untuk meleburkan teori dalam tulisan yang pendek?”
Mendengar pertanyaan itu, Mas Dhafi langsung mengutarakan pendapatnya, “Untuk itu, tidak perlu menuliskan secara detail tentang teorinya. Cukup dengan membahasakan konsep yang dipahami dengan menggunakan bahasa sendir.”
Satu tulisan selesai didiskusikan, peserta kelas lainnya celingak-celinguk menunggu giliran. Ternyata, setelah Ajeng, saatnya Thoriq yang menyampaikan persoalannya. Dengan tangan yang masih menyentuh layar tablet ia bertutur, “Persoalanku adalah menentukan batas pembahasan agar tidak terlalu general.”
Saran pun dilayangkan oleh Mas Dhafi, dengan pembawaannya yang tenang sekaligus berpikir, tentang apa kira-kira yang harus dikatakan. Sorot matanya menuju pada Thoriq, sembari berkata, “Kamu bisa memulainya melalui genre, lalu dibedah komponennya.”
Saling sahut-sahutan mengisi ruangan diskusi. Thoriq dan Mas Dhafi saling menyampaikan pendapat. Setelah rokok isapan terakhir di jari saya habis, barulah dapat keselarasan pendapat serta hal yang akan ditulis oleh Thoriq.
Di kelas ini, jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Sehingga, giliran yang ketiga masih akan dilanjutkan oleh laki-laki. Ruli namanya.
Ruli kebingungan bagaimana akan melanjutkan tulisan. Sebenarnya yang bingung tidak hanya Ruli. Raut wajah ingin belajar sekaligus kebingungan hadir dalam raut wajah beberapa peserta.
Tak ingin lama, memperhatikan wajah bingung yang tampak di hadapannya, Mas Dhafi langsung memberikan saran, “Kamu bisa mengkritisi konsekuensi seorang narator.”
Kata narator yang mengisi obrolan ini menjadi perbincangan panjang hingga akhirnya bisa disimpulkan bahwa narator terkadang juga menunjukkan sudut pandangnya melalui komentar. Juga dibahas konsekuensi dari teknik penulisan menggunakan narator.
Angin malam semakin dingin, nun di ujung sana suara mesin menderu. Ternyata itu Robby yang baru saja tiba. Telat, baru juga hari kedua. Sepertinya momen bersahabat dengannya. Tulisan berikutnya adalah tulisan Robby. Meski sempat ditawari untuk rehat terlebih dahulu, ia tetap bersemangat untuk lanjut membahas tulisannya.
Ternyata, semangat itu sudah dibawanya sejak di jalan. Selama menyusuri aspal ia terus memikirkan perihal tulisannya. Tak ayal, setiba di kelas, ia bersemangat untuk memuntahkan apa yang telah lama ingin diutarakannya.
“Baginya, perubahan kata dalam penulisan akan mengubah maknanya,” kata Robby dengan kalimat-kalimat lancar. Kami, para peserta kelas, menjadi tahu bahwa perubahan makna bisa dikritisi faktornya. Sebab, jika aspek estetik berubah, aspek sosial akan berubah juga. Biasanya, aspek estetik tunduk pada aspek sosial.
Rasanya, menunggu giliran saya masih agak lama. Karena cairan ekskresi meminta untuk dikeluarkan, langsung saja saya nyelonong menuju kamar mandi. Tak perlu lama-lama, tugas sebagai penulis notula sudah memanggil lagi.
Saat kembali mengikuti kelas, tampak Mas Dhafi terlihat surprise dengan tulisan Madno. Pasalnya, Madno ingin mengkritisi tulisan Mas Dhafi.
Pertanyaan dilontarkan: “Kenapa penulis menaruh konjungsi di awal?” Madno tidak hanya mengungkapkan pertanyaan. Ia pun mengutarakan asumsinya mengenai cerpen tersebut. Alhasil, sang penulis pun menyampaikan kisah di balik penulisan cerpen tersebut.
Diskusi antara Madno dan penulis cerpen berlangsung agak lama. Pasalnya, sang penulis merespons secara langsung asumsi yang muncul dari pembacaan Madno terhadap karakter dan karyanya.
Saya rasa, dengan Madno mendapatkan feedback langsung dari penulis, tulisannya akan tuntas dalam sekejap waktu.
Malam kian dingin. Dari seberang saya lihat sudah ada dua bungkus rokok yang berjejer di atas meja Mas Dhafi. Ini menandakan bahwa kelas sudah berlangsung lebih dari satu jam setengah. Dan saya agak mengantuk. Huaa, tugas ini harus dilanjutkan.
Danny yang sedari tadi duduk di pojokan dekat dengan layar televisi menyadari bahwa tiba gilirannya. Tak ingin lama-lama, dengan cepat ia mengatakan: ”Cerpen yang akan saya kritisi mirip dengan memoir dan gagasan yang ada di cerpen pertama dibatalkan di cerpen kedua.”
Menurut Mas Dhafi, Danny bisa melihat dampak perubahan cerita melalui kritik estetik. Untuk kritik sosial bisa dilihat dampak yang dihadirkan dari perubahan tersebut.
Malam semakin gelap, masih tersisa tiga peserta kelas. Kini, tulisan Hadi yang diberi masukan. Dari hasil obrolan yang saya simak, ia diberi saran untuk fokus terhadap trauma masa lalu yang dikaitkan dengan aspek estetikanya. Lalu, bisa juga melihat elemen yang menggambarkan trauma yang ada.
Semestinya giliran saya yang terakhir. Ternyata, waktu menyatakan bahwa sudah saatnya tulisan saya yang dibahas.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam ini memulai obrolan dengan menyampaikan tiga hal yang ia dapatkan: Opium, Buruh, dan Kolonial. Hanya, ia kebingungan untuk mengaitkan hal-hal tersebut dengan kritik estetik. Ada beberapa saran yang diberikan. Antara lain, komposisi bisa jadi jalan masuk untuk masuk membicarakan perihal opium. Bisa juga menggunakan teori The Art of Resistance.
Ah, akhirnya peserta terakhir. Marisa namanya. Sebagai peserta terakhir, ia mendapatkan saran. Mas Dhafi menuturkan: “Bisa masuk dari perubahan karakter tokoh. Dari segi estetik, bisa melihat apa yang ingin dicapai oleh tokoh dan apa yang diidealkannya.”
Akhirnya, kelas ditutup. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB dan para peserta harus segera pulang.
Meski notula ini tidak persis dengan apa yang dituliskan oleh notula sebelumnya, saya berterima kasih kepada keyboard eksternal yang mampu menyelesaikan tulisan ini.