Menu

Bu(a)lan | Cerpen Afthon Ilman Huda

Entah bagaimana aku menceritakannya. 

Pagi kelabu. Aku tengah mengantar surat ke sebuah rumah beralamatkan di Jalan Derita No. XVI, Distrik ‘65. Tak ada nama penerima tertera di amplop. Satu-satunya petunjuk hanyalah sepotong alamat tak lengkap yang tampak sengaja disamarkan itu. 

Seandainya uang tiga juta rupiah yang telah kuterima senilai sama dengan seporsi nasi kampung langgananku, aku tidak akan tergiur dan terdampar di sudut perkotaan seperti coretan gambar bocah kanak-kanak itu. Kusut. Jomplang. Tak sedap sama sekali di indra. Aku meyakinkan bagi siapa saja berdiri di tempat itu tidak akan diam bertahan meski hanya semenit.

Semula tiada yang berbeda. Setelah melewati gapura besi kuning, baru tubuhmu akan mulai bergidik, lalu setelahnya segera ingin mengumpat. Sekumpulan tikus hitam mengerubungi bangkai seekor kucing dengan kepala tampak habis tinggal belulang di tepi trotoar. Kau mungkin akan memaklumi yang pertama, tapi tidak ketika ada dua hingga tiga kejadian sama yang menyapamu kemudian setelahnya. 

Perumahan di sana terbelah jadi dua oleh bentang jalan utama yang menembus hingga ke arah barat. Kira-kira seratus meter tembok besar baru akan ditemukan memancang memotong pandangan. Populasi di distrik itu padat. Modern. Tampak dari arsitektur heterogen bangunan yang mereka gunakan. Tapi rapuh, tampak mudah sekali runtuh. Sama seperti fakta-fakta hasil penelitian ilmuwan yang pernah kubaca di koran-koran berita; orang-orang modern yang individualis dan pragmatis hanya terlihat adidaya pada bungkusnya saja, tapi dibaliknya sebetulnya sangat gampang sekali terpuruk dan hancur.

Aku tak menyangkal. Kekasihku bekerja sebagai psikiater. Dan mau tak mau harus mengabaikan pertemuan kencan kami akibat ledakan jumlah pasien gangguan jiwa dari distrik kota yang memaksanya untuk lembur berhari-hari mengurungnya dari urusan asmara. Pekerjaan itu meletihkan dan hampir membuatnya gila. Orang-orang dikirim ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien diagnosis terlalu banyak bekerja, selain karena persoalan cinta dan agama. Ya, akhir-akhir ini banyak kejahatan absurd tak manusiawi dan masuk akal terjadi karena kemiskinan rasa cinta dan cara bertuhan yang teler. Uang, membutakan mereka dari aspek kehidupan lain.

Sepanjang langkah, wajah-wajah beringas dengan lirik mata seperti hendak memakan terus mengintai-melintasiku dalam pencarian. Angin seperti enggan menyapu amis-pesing aroma di jalanan. Beruntung ada sepotong kain selalu terikat menutupi setengah wajahku. Berprofesi sebagai seorang kurir juga akan selalu mendekatkanmu pada penyakit kesehatan akibat polusi udara kendaraan. Paradoks, memang. Manusia banyak membuat kemajuan-kemajuan, tapi sekaligus menyilakan lehernya untuk mati ditikam olehnya. Aku sulit mengerti, mana sebenarnya; kemajuan yang harus ramah kepada manusia, atau sebaliknya? Entah. Karena begitu tololnya manusia menciptakan peradaban modern yang justru menundukkannya sebagai seorang tuan.

Awan hitam di langit menganga menyerupa mulut harimau yang lapar, menghanyutkanku sampai di sebuah mulut gang. Mulut gang itu menjorok ke dalam seperti lekuk tongkat nabi pemecah laut merah. Hanya saja bukan gelombang air tinggi yang menelungkupi kiri-kanan langkahku, tapi dinding batu gamping yang mengarah ke sebuah rumah aneh. ‘Pemilik rumah ini sudah pergi ke bulan’, tulis sebuah papan di gerbang. Tak ada halaman. Tak ada tanaman atau bebungaan. Gersang. Hanya dinding-dinding beton marmer yang subur. Bukankah pemiliknya sudah tinggal di bulan? Rumah itu tampak serupa seluruhnya di distrik itu. Hawa panas tak nyaman sangat kental terasa mengusir. 

Di mulut gang orang-orang ramai melintas-lalu begitu saja. Tubuh mereka tegak melangkah lincah dengan mata tak berkedip menyala-nyala seperti api unggun. Sepintas kukira ada sebuah chip tertanam di kepala mereka, seperti robot. Tapi terlihat berbeda dari yang pernah kusaksikan di film bersama kekasihku. Mereka robot-robot merdeka. Hanya saja tetap apatis; terlihat bisu dan tuli dengan sekitar.”

Situasi tidak memungkinkanku untuk bertanya. Suatu ketika beberapa orang hendak mencegatku dengan todongan pisau, dan akhirnya menepikan pencarianku di sebuah rumah seorang wanita yang menyelamatkanku.

“Anda orang sini?” Wanita itu bertanya.

“Maaf. Saya…”

“Jelas, bukan.”

Rupa mulut wanita itu sama tajam memotong pembicaraan dengan pisau kawanan pencegat itu.

“Apa yang Anda lakukan di sini? Anda tahu ini bukan tempat yang aman bagi seorang ‘pencari’, bukan?”

Aku mengernyit.

“Seorang dari luar lingkungan ini. Mencari keuntungan dan perlahan menggilas kehidupan orang-orang asli distrik, kami menyebut mereka ‘pencari’,” terangnya. 

“Maaf, tapi sebenarnya pekerjaan saya memang tengah mencari alamat untuk mengantarkan sebuah paket. Saya lebih suka disebut seorang kurir ketimbang ‘pencari’,” tegasku menampik.

“Apa yang Anda bawa?” Matanya memburu ke tas yang terselempang melingkar di antara dadaku.

“Tidak ada,” kujawab, “saya hanya akan mengantarkan surat ini,” sambil menunjukkan amplop beralamat ‘setan’ yang hampir membunuhku itu.

“Anda membawa uang?”

“Tidak banyak.” Uang tiga juta rupiah yang sudah kuterima sebelumnya untuk pekerjaan itu sudah kubagi berdua dengan kekasihku, dan sisanya kusembunyikan untuk masa depan kami yang masih tanda tanya.

“Anda tahu mereka menginginkan uang, bukan? Tempat ini tidak ramah untuk pekerjaan seorang kurir. Apalagi mereka melihat Anda seperti seorang tengah membawa barang berharga.” 

Wanita itu menarik nafas dengan berat. 

Aku berdalih jika pekerjaan perihal mengantar surat itu harus segera kutuntaskan, dan kini aku terdampar di sudut antah-berantah. Gang-gang yang ada meliuk ke mana-mana seperti lorong kecil yang dilintasi seekor ular.   

“Bisa Anda membantu saya?” tanyaku, tak benar-benar memohon. 

“Tentu. Kenapa tidak?” jawabnya, tak benar-benar yakin. “Anda mungkin tinggal berpulang nama, dan kekasih Anda meringis histeris menemukan jasad Anda menggeletak busuk bersama tikus seharga kucing yang mati di jalan-jalan,” katanya, tanpa memasang nada ngeri.

Aku diam termangu, bingung antara percaya dan tidak.

“Dengar. Situasi distrik tidak kondusif. Orang-orang bekerja penuh, pagi-siang-malam haus akan uang. Mereka kadang bekerja jujur, menipu, membunuh, dan melakukan korupsi hanya untuk dapat mati dengan tenang. Saya takut…”

 “Jadi Anda tidak bisa membantu saya?”

“Maaf. Saya juga memiliki pekerjaan. Setidaknya uang hasil jerih payah saya nanti dapat tetap mengabadikan jasad saya di bumi… di tanah.” Suaranya terdengar sedikit bergetar.

Kata-kata wanita itu menyulut sumbu pikiranku. Mati dengan tenang? Tetap mengabadikan jasad di bumi? Aku tak mengerti. Kepalaku membentur dinding tanya.

“Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan?” tanyaku, terasa seekor burung di kepalaku tak kunjung menemui sarangnya.

“Menurut Anda tidakkah ada yang aneh dengan distrik ini?” Mata kepalaku merekam tumpukan kumuh bangunan rumah-rumah tanpa halaman, dan aku terus mengingatnya.

“Orang-orang mulai berpikir menguburkan jasad mereka di bulan.”

“Bulan?” Wanita itu mengangguk membenarkan sembari menggigit bibir, seolah sulit menerima pernyataannya sendiri. 

“Pemerintah Distrik tengah gencar melakukan pembangunan. Manusia-manusia terus berkembang biak, berekspansi seperti hama. Tanah yang telah mengenyangkan perut mereka sehari-hari dihabisi. Rumah-rumah harus berdiri. Sementara sekarang tak ada lagi lahan tersisa untuk menampung kematian mereka,” terangnya. 

Suasana hening. Kisah wanita itu buatku bergeming. 

“Minggu lalu sebuah mayat tanpa identitas ditemukan mengapung di sungai. Cukup terang orang itu ingin mati tanpa harus pergi jauh meninggalkan bumi. Mati membusuk jadi santapan ikan-ikan… saya mulai berpikir ada hal selain manusia yang lebih menghargai kematian.” 

“Anda menginginkan kematian seperti itu?”

 “Jika itu keberuntungan. Tenggelam dan hanyut tak ditemukan… ada banyak orang selain saya mungkin menginginkannya. Lebih baik daripada membiarkan jasad Anda diinjak kemegahan. Disusun seperti pakaian dalam kotak lemari dengan jasad lain dalam liang sama… itu sungguh kesialan.”

“Tapi bukankah ada cara lebih baik?”

“Kau mati hina dihunjami nyeri sampai tanah baka, lebih baik?”

“Anda beragama, bukan?”

“Anda membual?”

Entah bagaimana aku akan menjawabnya. Arah pembicaraan ini kuduga hanya berbuah omong kosong. Aku takut, tak sanggup bercerita dan menyelesaikannya.

No Responses

Tuliskan komentar