Membuka gelaran Bincang-Bincang Sastra pada tahun 2019, Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menyajikan acara bertajuk ‘Yogyakarta Ibunda Tercinta’. Acara Bincang-Bincang Sastra yang digelar oleh Studio Pertunjukan Sastra secara rutin setiap bulan sekali sejak Oktober 2005 hingga Januari 2019 ini telah sampai pada edisi 160. Menandai perjalanan panjang tersebut, Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan para pembicara yang sudah tidak asing lagi dalam kancah kesastraan Yogyakarta dan Indonesia, yakni Prof. Faruk (Guru Besar Sastra UGM), Edi A.H. Iyubenu (Penulis, CEO Diva Press Grup), dan Indrian Koto (Sastrawan, Pengelola jualbukusastra.com), yang akan dipandu oleh Cucum Cantini. Dalam acara yang akan digelar pada Sabtu, 26 Januari 2019 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta ini juga akan tampil pertunjukan sastra berupa pembacaan puisi, pembacaan cerpen, dan pembacaan esai sastra oleh Shofia Yurida, Rizki Ramdhani, dan Kurniaji Satoto. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.
“Tajuk ‘Yogyakarta Ibunda Tercinta’ merupakan perwujudan atas kesadaran bahwa dari rahim Yogyakarta telah, tengah, dan akan lahir kembali manusia-manusia baru setiap waktu, tak terkecuali para sastrawan. Manusia-manusia baru itu terus tumbuh, berkembang, dan berjuang sebagai ksatria di gelanggang. Daerah istimewa ini telah menjadi kampung halaman bagi siapa saja yang sedia memulai langkah dari titik nol perjalanannya dalam menempuh alur kehidupan hingga menemukan jati diri,” ujar Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.
“Tiada berhenti, terus-menerus generasi muda dari berbagai penjuru daerah di Indonesia bertandang, datang, dan tinggal menetap di Yogyakarta. Proses pasrawungan segala kemungkinan, baik yang ada di dalam maupun yang datang dari luar pun terjadi. Penduduk asli dan para pendatang hidup berdampingan tanpa curiga dan gemeremang prasangka. Nuansa tradisi masa lalu dan zaman kontemporer dapat berjalan beriring menjalin keberlangsungan hidup bersama. Hasilnya, ilmu pengetahuan dan kreativitas masyarakat di Yogyakarta tumbuh berkembang nut jaman kelakone (mengikuti zamannya). Kehidupan bersastra di Yogyakarta bergulir tiada henti mengikuti alur perkembangan Yogyakarta ke arah maju,” imbuhnya.
Sejak masa awal kemerdekaan Bangsa Indonesia, Yogyakarta sebagai ibu kota menjadi tujuan orang-orang datang dari berbagai daerah. Sejak dekade 1950-an Yogyakarta telah menjadi tempat berpumpun seniman dan sastrawan kemudian kita baca nama dan karyanya dalam buku sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia. Yogyakarta jika diibaratkan bangunan adalah pendapa, tak ada dinding-dinding yang menghalangi bagi siapa saja yang hendak masuk ke dalamnya. Namun, orang-orang sulit keluar darinya.
Penyair Joko Pinurbo menyebut bahwa “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Penyair Iman Budhi Santosa menyebut “di pangkuan Yogya aku terlahir kembali.” Penyair Indrian Koto menyebut “di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan.” Sutradara kondang Hanung Bramantyo menyebut “Yogyakarta adalah ladang garapan, tempat orang-orang nenandur (bercocok tanam), bukan untuk dol tinuku (jual beli).” Agaknya, Yogyakarta yang mandiri telah menumbuhkan etos kebudayaan dan etos kerja (makarya, berkarya) pada setiap masyarakatnya.
Mustofa menyatakan, “Tidak dipungkiri bahwa Yogyakarta memiliki arti dan nilai penting bagi setiap sastrawan yang pernah maupun tengah berproses kreatif di sini. Yogyakarta boleh jadi adalah satu tatanan yang aneh, yang tidak bakal ditemukan di daerah lain. Laku kehidupan yang lamban, syahdu, romantis, puitis, bertemu dengan tatanan yang paradoks bahwa Yogyakarta macet, sumpek, tragis, dramatis. Apakah Yogyakarta adalah sebuah dunia ideal bagi para sastrawan, sehingga mereka bisa hidup seperti kata Jokpin, alon-alon waton hepi? Namun, perlu dicermati, Jokpin dalam puisinya juga mengingatkan kita, bahwa hati Yogya hangat dan berbahaya.”
Sementara itu, Bayu Aji Setiawan selaku koordinator acara menegaskan, “Yogyakarta merupakan daerah yang lekat dengan budaya dan tradisi Jawa. Yogyakarta yang terbuka membuat siapa saja dapat dengan gampang diterima menjadi wong Yogyakarta. Dialektika kultural bolak-balik menjadikan Yogyakarta benar-benar menjadi hunian yang nyaman. Sehingga tidak sulit bagi para sastrawan yang berasal dari luar Jawa bisa menyesuaikan diri di Yogyakarta dan kemudian menjadi Jawa. Walhasil, Yogyakarta menjadi ladang bagi tumbuh kembang kesenian tradisi dan kesenian modern secara berdampingan ditopang adanya sekolah, kampus, sanggar seni, dan komunitas-komunitas yang menjamur di punggung kota ini.”
“Malioboro terus berhias menjadi pusat perhatian lengkap dengan bangku-bangku malas. Warung-warung kopi melahirkan penyair-penyair yang gelisah. Jalanan yang macet dijejali bus-bus pariwisata, andong, becak motor, dan ojek online. Perubahan dunia di era golbalisasi dengan kecanggihan zaman yang menuntut segalanya serba instan. Hal ini tentu berpengaruh pada kedalaman dan kedangkalan karya sastra yang lahir dari para sastrawan generasi kiwari,” imbuhnya.
“Melihat kenyataan itu, apakah Yogyakarta masih menjadi rumah yang nyaman? Bagaimana Prof. Faruk yang telah memasuki pintu rumah Yogyakarta sejak tahun 1976 berkisah mengenai pandangan dan pengalamannya tentang kehidupan bersastra di Yogyakarta? Bagaimana Pak Edi A.H. Iyubenu berkisah mengenai pandangan dan pengalamannya hidup bersastra di Yogyakarta sejak dekade 1990an hingga kini di Yogyakarta —mengingat tidak sedikit penerusnya yang berasal dari Madura juga merintis proses kreatif sebagai penulis di kota ini? Bagaimana Bung Indrian Koto yang mewakili generasi 2000an akan mengisahkan proses kreatifnya di dunia ambang perpindahan media cetak ke media daring, proses komunialitas sastrawan di kampus dan komunitas, juga pengalaman menggelar lapak buku sastra di kota buku ini? Mari hadir dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 160 ini. Semoga memberikan manfaat yang berarti dan bernilai,” pungkas Bayu.
Tertanda,
Bayu Aji Setiawan, koordinator acara