Kebhinekaan sejalan dengan ajaran agama, perintah Al-Qur’an. Keharusan dalam berbhineka ada di dalam Al-Qur’an, yaitu perintah untuk saling mengenal. Untuk itu, ada falsafah “tak kenal maka tak sayang”, dengan saling mengenal, maka bisa menjadi saling sayang. Inilah pentingnya ajaran agama, yang sekali lagi, sesuai dengan falsafah negara kita Bhinneka Tunggal Ika.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota MPR RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Kompleks Bayt at-Tahfidh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta pada Ahad (11/04).
Sosialisasi empat pilar yang dimaksud adalah menyampaikan materi tentang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD NRI 1945. Sebagai anggota MPR RI, pria yang akrab disapa Gus Hilmy ini wajib melaksanakannya.
Menurutnya, negara Indonesia telah memfasilitasi kebutuhan keagamaan umat Islam, sehingga tidak ada lagi ruang untuk mempertentangkan antara agama dengan negara.
“Kita tahu, kita punya undang-undang zakat, bahkan mengajak untuk taat terhadap agama. Negara kita tidak pernah melarang umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam, bahkan kita bisa kumpul di mana saja selama yang kita lakukan tidak bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya.
Hadir dalam kesempatan tersebut sebagai pembicara yaitu Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA. dan Dosen UPN “Veteran” Yogyakarta Dr. Ahmad Syariuddin.
Sahiron mengatakan bahwa Pancasila merupakan kesepakatan bersama dan oleh karenanya tidak ada lagi celah untuk memperdebatkannya. “secara substantif, lima sila dari Pancasila tak satupun yang bertentangan ajaran Islam. Sila pertama seiring dengan konsep tauhid. Sila kedua sesuai dengan ajaran Islam tentang kemanusiaan dan keadilan. Sila ketiga merupakan bagian dari perintah Islam untuk melaksanakan persatuan antarsesama manusia. Sila keempat sesuai dengan konsep syūrā. Sila kelima merupakan bagian dari konsep keadilan yang diajarkan oleh Islam.”
Sementara itu, Syariuddin mengatakan bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
“Semboyan ini diambil dari kakawin Sutasoma (Mpu Tantular, sekitar abad ke-14), tentang toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Artinya, Kebhinekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan,” katanya.