Lelaki itu membuka pintu garasi, dan memandangi mobil tuanya. Ban hitam. Pelek seputih tulang. Body montok. Warna cat yang agak norak. Di sisi kanan mobil terdapat tumpukan kardus dan sangkar burung di atasnya. Lelaki itu lupa kapan burungnya kabur.

Dia memikirkan itu sambil menghidupkan mobil.

Ada gantungan badut di kaca spion tengah dan beberapa gantungan logam yang bila mobil berjalan akan membuat bunyi gerincing. Di depan setir terdapat boneka ulat bulu sepanjang kaca depan mobil. Warna-warni. Lelaki itu keluar dan mengangkat telepon.

“Kau langsung masuk ke garasi,” telepon dimatikan. Dia beranjak dan berdiri di depan garasi. Seorang montir tanpa baju montir datang membawa perkakas langsung disambut.

Lelaki itu menyuruh montir memeriksa mobilnya. Montir meletakkan perkakas di depan mobil, ia segera memeriksa mesinnya, sementara lelaki itu menghidupkan mesin. “Gimana…” teriaknya sambil melongok ke arah montir. “Apa ada yang rusak?”

Montir itu menutup mesin lalu mendekati pintu mobil. “Kau harus bawa mobil ini ke bengkel.” jawabnya.

“Apa kau tidak bisa memperbaikinya?” Montir itu berbalik, lalu berjalan. “Bisa. Tapi aku khawatir akan lama,” Ia mengangkat perkakas dan hendak pulang.

“Kau tahu kan, bengkelku…” Ia tidak melanjutkan.

“Bagaimana, aku tidak mengerti maksudmu,” tanya lelaki itu penasaran.

Montir itu meletakkan perkakas di depan kakinya, lalu, “Bengkelku sudah kujual.”

“Bagaimana bisa? Bukankah kemarin masih ada? Bukankah malam itu kita masih minum?” Dia tidak melanjutkan.

“Kau tahu, setelah kau pulang dari bengkel ponselku tiba-tiba berdering. Nomor tidak dikenal tampil di kaca ponselku. Aku mengangkat dan meng-halo. Awalnya kupikir orang nyasar, tapi setelah beberapa menit, aku baru sadar ia adalah polisi. Mungkin karena pengaruh minum denganmu setengah kesadaranku menghilang. Polisi itu bilang bahwa ada laporan ayahku ditahan karena mengendara mobil dalam keadaan mabuk. ‘Aku bisa membebaskan ayahmu, asal….’ Saat itu aku segera menutup telepon. Dan menganggap bahwa pagi itu adalah mimpi buruk.”

“Mengapa kau tidak menelepon ayahmu?”

“Kau tahu kan, aku dan ayahku …”

“Bagaimana, aku tidak mengerti maksudmu,” keluhnya.

“Aku dan Ayah bermusuhan. Kau tahu saat ia ke bengkel dan langsung marah-marah,”

“Iya, aku tahu itu.”

“Ayahku tidak suka kalau aku menjadi montir. Ia ingin menjadikanku sebagai derektur perusahaannya. Makanya, saat ia mendengar aku membuka bengkel dan tidak kuliah, ia marah luar biasa. Ia menghampiriku ke bengkel, memukul, menjatuhkan semua suku cadang di rak, menendang asal sampai kakinya memar, lalu ia berhenti.”

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Lelaki itu berhenti dan memandang montir. Pintu garasi yang menghubung dapur terbuka, perempuan berambut sebahu masuk membawa nampan yang di atasnya dua gelas dan satu teko berdiri. Ia meletakkannya di atas meja, sementara montir dan lelaki itu diam memandang mobil.

“Ada apa?” pecahnya.

Mereka menoleh, lalu menggeleng. “Terima kasih,” ucap lelaki itu pada istrinya.

“Mengapa kalian diam begitu?”

“Oh, kami sedang berpikir bagaimana seharusnya mobil ini dibetulkan,” timpal montir.

“Kenapa dengan mobil ini? Apa  kau tidak bisa memperbaikinya?”

“Tidak ada mobil yang kembali dengan keadaan tetap rusak di tangan montir,” kata lelaki itu dan, “Namanya juga montir, Sil. Ia bisa memperbaiki mesin, bahkan hati perempuan yang patah,” Kalimat terakhir sedikit diarahkan pada montir. Lalu mereka tertawa, dan Sila, istri lelaki itu menggerutu. “Dasar laki-laki!”

Sila pergi membawa nampan dengan muka masam.

“Lihatlah, istriku begitu cantik ketika marah. Aku sering menggodanya seperti itu.”

“Berbeda sekali dengan istriku, ia tidak pernah marah walau pun aku bentak, tapi jujur aku tetap mencintainya.”

“Cinta memang aneh,” celetuk lelaki itu. Lantas mereka berdua tertawa.

“Jadi, bagaimana dengan—” perkataannya diputus.

“Aku membutuhkan alatku, itu saja,” celah montir.

“Bukan, bukan itu.”

“Lalu?”

“Bagaimana kau bisa menjual bengkelmu dalam waktu dekat?”

“Oooooo,” lirihnya.

“Setelah telepon itu kuakhiri, aku segera menutup bengkel dan bergegas pulang. Di jalan, aku memikirkan perkataan polisi tadi. Aku merasa bahwa itu hanya akal-akalan ayahku. Aku menghapus ingatan itu dan segera melajukan motor. Setelah tiba di rumah istriku sudah tidur. Ia mendekap di atas kasur. Aku pun tidur di sampingnya. Menatap langit-langit rumah, lampu bergantung, dan sekejap dunia gelap. Aku tertidur, namun aku dibangunkan oleh dering ponsel. Nomor tak dikenal itu telepon lagi. Aku merasa tidak perlu mengangkatnya. Orang itu pasti suruhan ayah. Aku pikir begitu. Ponselku terus-menerus berdering sampai istriku terbangun dan mengangkat telepon… Kau tahu, apa yang ia lakukan. Ia menggoyang-goyangkan tubuhku lalu memberi ponsel itu padaku, ‘ada yang telepon’. Aku pun mengambil dan meng-halo.

“Siapa orangnya? Masih samakah?”

“Iya. Polisi bayaran itu menelepon lagi sebelum azan subuh. Ia mengancamku kalau sampai besok siang aku tidak memberinya uang. Maka, ayahku dijamin masuk pengadilan dan akan dipenjara enam tahun. Tentu aku tidak percaya dengan omongannya. Aku tidak percaya, karena Ayah memang tidak suka denganku. Tapi setelah matahari terbit, dan ibuku menelepon, mengabarkan Ayah masuk penjara. Ketika itu aku tersentak. Aku tidak percaya. ‘Ayahmu masuk penjara. Semenjak ia tahu pekerjaanmu, ia sering keluar malam dan pulang dengan keadaan mabuk.’ Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Sementara kebutuhan keluarga membengkak, dan pemasukan bulan ini pun mengurang.

Maka, aku jual bengkel itu ke bank. Ia memberiku cukup banyak uang, dan dengan itu pula aku bisa menebus ayah. ‘Semenjak kau menjadi montir, perusahaan ayahmu menurun. Aku tahu kalau kau tidak mungkin bekerja di perusahaannya karena kau pernah bilang begitu pada ibu saat remaja.’ Pagi itu juga aku menjemput Ayah dengan motor, membawanya pulang ke rumah. Aku tahu, sangat berat menjual bengkel itu. Makanya, kini aku bekerja di bengkel orang. Dan, kau malah panggil aku ke sini untuk memperbaiki mobilmu. Sementara bengkel dan alat-alatku sudah kujual semua, tersisa obeng dan palu yang tertinggal di rumah dan selamat dari bank.”

“Jadi, aku tidak bisa bepergian hari ini?”

“Bawa saja mobilmu ke bengkel, 2-3 jam sudah beres.”

 

Kutub, 11-03-2020

By Fahrul Rozi

Fahrul Rozi tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya dimuat di berbagai media nasional dan lokal.

One thought on “Bawa Saja Mobil ke Bengkel | Cerpen Fahrul Rozi”

Tuliskan komentar