Puisi, Keterasingan Urban, dan Seksualitas yang Ceroboh

Puisi, Keterasingan Urban, dan Seksualitas yang Ceroboh

Aku membayangkan diriku menjadi Katrin Bandel, seorang kritikus sastra yang menjadi salah satu pengulas buku yang sedang diluncurkan di berbagai toko buku itu. Saat itu, Mbak Katrin berbicara di Rumah Sukma, Sabtu (30/11/2024). Aku kira beginilah jadinya: 

Apa yang membedakan puisi yang ditulis perempuan dan puisi yang ditulis oleh laki-laki? Diksinya?

Check In/Check Out tidak feminin karena diksinya,” saya membuka pembahasan kumpulan puisi Check In/Check Out di Rumah Sukma, “tapi karena pengamatan diri yang kental. Inilah kekhasan penulis perempuan.”

Bardjan, penyair perempuan muda asal Jakarta, menciptakan karya yang menghadirkan realitas urban dengan jujur. Di awal pembahasan, saya menyampaikan bahwa kemunculan kata-kata vulgar bernuansa seks seperti “ngentot” dalam Check In/Check Out terasa alami dalam konteksnya. Karenanya, di depan audiens, saya mengakui bahwa saya merasa lebih nyaman membaca ini daripada membaca Ayu Utami yang seakan-akan menggunakan banyak metafora dan bahasa yang puitis dengan tendensi mempertontonkan seks.

Alih-alih sekadar memanfaatkan vulgaritas untuk sensasi, estetika sensual dalam puisi Bardjan berfungsi sebagai jembatan bagi pembaca untuk menyelami kemurungan kota Jakarta dan keterasingan perempuan tokoh utama dalam puisi-puisi Check In/Check Out. Sangat terasa bahwasanya si perempuan tokoh utama merupakan avatar dari keseharian penulis sebagai pekerja kelas menengah Jakarta di kehidupan nyatanya.

Puisi-puisi Bardjan mengingatkan saya pada karya-karya seorang penyair yang eksis seabad sebelumnya, yaitu Sitor Situmorang, yang dikenal sebagai pengembara di tanah asing. Karenanya, saya pun sedikit menyelipkan pembahasan tentang Sitor Situmorang.

Sebagai ekspatriat, Sitor merasakan jarak yang begitu nyata dari tanah air. Dalam setiap bait, Sitor merangkai alienasi sebagai tema utama, memotret perasaan terasing yang universal di tengah dunia yang serba terhubung. Sama seperti Bardjan, keterasingan yang tertuang dalam puisi-puisi mereka bukan hanya luka. Dalam keterpisahannya, mereka menemukan ruang untuk refleksi yang mendalam.

Bedanya, Bardjan tidak terasing karena jarak geografis. Keterasingannya lahir dari jarak emosional terhadap kota yang ia tinggali—Jakarta yang terus bergerak tapi hampa, penuh dengan pekerja yang hilang arah dalam hiruk pikuk kapitalisme.

Perempuan tokoh utama dalam puisi Bardjan sendiri melihat rutinitas muram itu sebagai sesuatu yang bisa digugat. Sayangnya, ia tidak mampu keluar dari monotonitas dan tekanan struktural di Jakarta. Akhirnya, si perempuan tokoh utama berupaya mencari jalan keluar dari kehidupan yang membosankan secara sambil lalu, melalui seks dan eskapisme yang terkesan “ceroboh”. 

Bardjan menimpali tanggapan saya dengan membenarkan bahwa keputusan seks menggambarkan keadaan ekonomi dan problem sosial yang dihadapi seseorang. Masyarakat kelas atas cenderung menyematkan syarat-syarat muluk dalam relasi romantis. Namun, menurut Bardjan, perihal cinta bukan lagi masalah besar bagi para pekerja kelas menengah sebab mereka menghadapi penderitaan kolektif yang lebih besar. Impitan kemiskinan struktural membuat mereka seakan-akan hidup tanpa harapan tentang pernikahan dan masa depan cerah.

Saya pun memuji puisi-puisi Bardjan sebab yang ia ungkapkan bukanlah imaji utopis seperti kembali ke alam atau mencari kedamaian, melainkan penerimaan terhadap kehidupan urban yang penuh tekanan. Namun, puisi Bardjan tidak sepenuhnya muram. Meski ia menerima realitas urban dengan apa adanya, ada kerinduan yang terselip di antara bait-baitnya—kerinduan untuk menemukan makna hidup, baik dalam relasi antarmanusia maupun dalam keintiman. Larik demi lariknya terus berayun di antara pencarian makna hidup dan hubungan seks yang terkesan tanpa warna.

Ini adalah potret perlawanan manusia urban yang dilanda kekalahan telak, yang saya temukan mengharukan. Bardjan, melalui puisi-puisinya, seolah-olah mengajak kita semua untuk mencari jalan keluar dari kehidupan yang membosankan, meski terkesan sambil lalu.***