Bagaimana saya menulis cerita pendek | Ikun SK | Sumber gambar: www.indonesianfilmcenter.com

Jika saya harus melihat beberapa praktik yang pernah saya kerjakan, yakni menulis cerita pendek, mungkin pertanyaan utama yang diajukan adalah bagaimana (saya) menulis cerita pendek?

Jawaban saya (untuk pertanyaan itu, setelah saya sekian lama melakoni) adalah: apa yang akan saya tulis? Saya akan mengenang beberapa cerpen saya (yang tidak bagus itu) untuk saya paparkan proses pertama kali benih cerpen itu (orang lain mungkin akan menyebutnya ‘ide’ tetapi itu terlalu konseptual dan tidak kongkret atau praktis) datang.

Sekali pernah saya ngobrol dengan beberapa teman. Teman itu bercerita tentang Kardilah. Kakak R.A. Kartini. “Suatu ketika,” cerita teman saya, “Ketika Kardilah menjadi istri Bupati Tegal, entah tahun berapa, meletus pemberontakan komunis. Ibu Bupati itu, oleh rakyat yang beringas, yang dipimpin oleh seorang yang disebut Kutil, katanya berasal dari Madura dan menjadi tukang cukur di pojok pasar, ditelanjangi dan diarak.”

Spontan, mendengar cerita teman saya, saya sangat ingin menjadikannya cerpen. Peristiwa arak-telanjang ini, akan sangat dramatis, memukau, dan pilu. Dan di tahun 2009 itu, saya mencobanya, dua kali, dan gagal. (cerpen Pu t@ Lang; Perempuan Arak)

Mengapa saya gagal? Saya tidak tahu jawabnya. Dan saya malas mencari jawabnya. Tapi, mungkin kira-kiranya adalah saya tidak lengkap memiliki kasus itu. Saya hanya terpesona pada peristiwa arak-arakan telanjang, dan saya tidak punya awal atau penyebab peristiwa itu dan akhir yang menyudahi. (Itu jika dugaan klenik saya salah: bahwa Kardinah tidak suka saya cerpenkan.)

Jadi bagaimana sebuah ide, kasus, gejala harus digarap untuk menjadi sejarah kasus? Di sini saya curiga, jangan-jangan ide, gejala atau kasus yang kita temukan baru menjadi sebuah awal atau akhir, dan kita diharuskan mencari pasangannya melalui kemampuan kita melamun.

Ini pengalaman saya yang lain. Saya punya teman yang sering saya kunjungi. Di rumahnya ada sebuah arca kepala Buda ukuran kecil. Arca itu sering dipindah letakkan: dari meja pindah ke sekat ruang, ke lantai, dan lain-lain. Sudah ratusan kali saya melihatnya. Sampai suatu kali, ketika kami menonton teve, arca itu ada di dekat kotak-kotak speaker di samping acara sepakbola. Tiba-tiba saya membatin, “Kepala Buda di Atas Meja”.

Saya merasa menemukan sebuah kalimat yang menurut saya enak.

Bisakah kalimat ini menjadi sebuah cerita pendek, atau bagian dalam sebuah cerita pendek? Bagaimanakah saya harus menyusun peristiwa-peristiwa sepanjang 6 sampai 10 halaman kuarto 1,5 spasi? Apakah yang harus saya lakukan?

Tampaknya saya harus menciptakan sejumlah dunia yang bisa saya sambung-sambungkan dalam satu pertalian melalui kepala Buda itu. Di sini saya kemudian mencari tokoh, menciptakan peristiwa untuk meruangkan percakapkannya, berikut kesadaran-kesadaran yang membangun percakapan atas kepala Buda itu yang pada satu titik –entah akan saya taruh di mana– adalah kekejian atas praktik penggal-memenggal kepala seorang nabi India ini. Kalau bisa, bagian ini, saya taruh di bagian akhir dan sekaligus menjadi klimaks. (Saya bahkan telah menabung kalimat lain, “Bahkan replika pun mereka penggal lehernya.” Pada kenyataannya arca koleksi teman saya itu, adalah cetakan yang memang hanya sebatas leher. Bukan sebuah arca yang dipenggal.) Artinya saya harus punya arah, dan saya harus menciptakan proses bagaimana bisa mencapai arah itu: bagaimana membuat awalnya, tengahnya.

Kalau persoalan awal dan akhir ini sudah dimiliki saya jamin cerpen pasti mewujud. Cuman, saya tidak menjamin anda puas dengan karya anda. Setidaknya, saya pernah mengalami, memiliki ide, merangkai peristiwa-peristiwanya, dan selesai. Tapi begitu rampung, ada sesuatu yang tidak saya sukai. Saya bingung. Apa yang membuat saya tidak suka? Saya baca beberapa kali, ternyata, soanya adalah sudut pandang penceritaan, atau bagaimana peristiwa-peristiwa itu dihadirkan, ternyata, dari sudut pandang orang ketiga: semacam pemandangan yang kanopik. Saya tidak menginginkan itu. Saya tidak menghapus. Tapi saya menulis lagi cerpen itu dengan sudut pandang orang pertama sebagaimana yang saya inginkan. Ketika dua cerpen itu terasa pendek sebagai masing-masing, saya kemudian menggabungkannya dengan terbalik. Cerpen pertama yang saya tulis menjadi bagian keduanya. Jadilah, Lukisan Semata Pisau.

 Pengalaman mencari ide ini bisa bermacam-macam. Suatu kali pernah, dalam perjalanan pulang dari Kartasura ke Jogja, saya mampir di Pengging. Saya ingin melihat situs ini, yang menjadi setting awal novel Nagasasra – Sabuk Inten. Mahesa Djenar, sang lakon, konon adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh atau Pangeran Handayaningrat. Kakak seperguruan Mahesa Djenar adalah Kebo Kenongo yang kemudian disebut Ki Ageng Pengging juga, karena merupakan anak kedua dari Pangeran Handayaningrat.

Di Pengging saya tidak hanya menemukan makam Kebo Kenongo, tetapi di dusun yang berbeda saya menemukan makam Pangeran Handayaningrat atau Pengging Sepuh. Di kedua makam itu saya menemukan papan silsilah sehingga saya kemudian tahu bahwa Kebo Kanigoro anak pertama dimakamkan di dusun Pantaran, Ampel, Boyolali[1]. Tetapi yang membuat saya terpana adalah gelar yang dicatatkan di makam Pengging Sepuh atau Pangeran Handayaningrat. Di situ dituliskan, Sri Mangungkung Prabu Handayaningrat. Dalam penjelasannya, gelar Mangungkung itu ditorehkan karena berarti dipenjara, dan kekuasaan yang memenjara itu adalah kerajaan Demak.

 

Apakah yang menarik?

Saya tiba-tiba teringat Menyurat yang Silam, Menggurat yang Masa Depan, sebuah penelitian tentang Babad Tingkir oleh Nancy Florida. Dalam babad itu Florida bercerita, bahwa hukuman pernah dijatuhkan oleh kekuasaan Demak pada tiga guru Jawa: Syeh Siti Jenar, Sunan Panggung, dan Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging.

Jika dalam babad dituliskan bahwa Demak membunuh Syeh Siti Jenar dan muridnya si Kebo Kenongo, jika dalam folklore Pengging Pangeran Handayaningrat dipenjara hingga akhir hayatnya oleh kuasa Demak karena ia adalah menantu putri sulung Majapahit dan berkuasa di tanah Pengging yang subur oleh banyak mata air, apakah mitos pembunuh politik keagamaan Islam itu sesungguhnya bukan folklore dari pembunuhan politik kekuasaan yang berupa rebutan waris kerajaan? Metamorfose Sri Mangungkung Prabu Handayaningrat menjadi Syeh Siti Jenar, jangan-jangan hanya sebuah permainan dari kecerdikan sastra rakyat dalam menciptakan metafora atau kiasan yang membahasakan hamparan subur padi menguning menjadi nama tokoh dalam ungkapan krama hinggil dari bahasa Jawa yang halus: Siti (lemah/tanah) Jenar (kuning) dari seorang penguasa, yang barangkali pada waktu di jamannya disebut Bhre Mataram.

Jika kecurigaan itu  saya tuliskan dalam risalah ilmiah –seandainya saya bisa–, tentulah repot untuk mencari fakta-fakta pendukungnya. Tapi jika saya menuliskannya dalam cerpen, saya cukup hanya menjadi seorang yang mampir di Pengging dan kebetulan saja mendengar Dongeng Penjual Pecel. Memang dalam cerpen itu saya tak menyebut-nyebut Syeh Siti Jenar, tetapi anda suatu saat cerpen saya ini terpublish dan dibaca oleh seorang saja yang juga pernah mendengar kisah Syeh Siti Jenar, saya berharap kemiripan nama itu mengusik pikirannya.

Kira-kira, begitulah saya memulai membangun sebuah fiksi.

 

 

[1] (Di kesempatan lain, makam Kebo Kanigoro ini saya datangi dan hasilnya adalah peta silsilah yang nyaris mirip dengan peta naratif yang dibangun S.H. Mintardja dalam novelnya, terbongkar di makam ini. Dengan kata lain, saya menuduh S.H. Mintardja mengenal tempat ini sebelum menulis novelnya.)

Tuliskan komentar