Cerpen Misni Parjiarti Aurora! Aurora!

Aurora! Aurora!

Sejak bumi masih muda dan sihir hilir mudik di udara, larik-larik cahaya raksasa menari-nari gemulai di udara malam dan melukis langit utara dengan warna-warna hijau, ungu, dan kesumba. Manusia akan menengadah, takjub pada tarian itu, dan teringat akan roh-roh leluhur dan nenek moyang yang diyakini membimbing mereka dari ketinggian. Mereka memberinya nama banyak nama, salah satunya “Aurora Borealis”.

Yang tak diketahui banyak orang adalah bahwa aurora memiliki kesadaran yang terbangun dari susunan partikel yang rumit dan belum pernah dipetakan ilmu mana pun. Karenanyalah, tanpa sepengetahuan manusia, ia mampu mengamati para pengagumnya di bawah sana: suka duka, perayaan-perayaan, dan kesedihan-kesedihan mereka. Berpuluh ribu tahun ia mengamati, berpuluh ribu tahun pula bertimbun hasratnya untuk mencicipi rasa menjadi manusia.

Di atmosfer terjadi badai geomagnetik ekstrem sehingga partikel bermuatan bertabrakan dengan gas di atmosfer bumi di sekitar kutub magnet. Aktivitas magnetik terus meningkat seiring terjadinya lontaran massa korona matahari yang mengarah ke bumi. Varian cahaya langit mewarnai hampir seluruh langit bumi bagian utara. Aurora Borealis yang lazimnya hanya bisa disaksikan hampir setiap malam di dekat lingkaran Arktika, seperti Islandia, Norwegia, Swedia, dan Finlandia, kini juga terlihat hingga di Eropa Barat, di bagian selatan Mediterania, dan wilayah selatan Amerika Serikat.

Di suatu tempat di langit utara, Aurora mewujud sebagai tirai hijau raksasa seperti biasanya. Namun, kali ini ujung tirai itu menjuntai begitu rupa hingga menyentuh tepi sebuah danau yang membeku. Di sana, ia menjelma menjadi seorang wanita dengan mata berkilap hijau serupa giok. Rambutnya hitam dan panjang, berkilauan seolah bertabur bintang-bintang. Ia mengenakan baju terusan pendek dari satin merah kesumba.

Matanya menyapu pemandangan yang tidak dikenalnya. Kemudian ia menyadari bahwa, meskipun tempat ini secara keseluruhan tampak asing, ada sesuatu yang terasa akrab padanya. Oh, aku biasanya melihat tempat ini dari atas. Ia mendongak dan menatap langit yang kini hitam, tampak seperti lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.[1] Ia rasakan gerakan di bagian depan tubuhnya. Ia letakkan telapak tangannya di dada kiri. Ia rasai detak yang teratur. Ia hidup.

Setelah badai geomagnetik ekstrem itu terjadi, hal aneh lainnya terjadi. Langit bumi utara tak lagi berwarna-warni. Langit hitam pekat sebagaimana langit di belahan bumi lainnya. Aurora Borealis menghilang. Tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan mustahil terjadi.

Tak henti-henti ia pandangi dirinya. Tak henti-henti ia mengayun-ayunkan tubuhnya, seperti menari. Matanya yang hijau membesar, dahaga pada apa pun yang ada dalam ruang pandangnya. Lalu warna putih salju menyilaukan matanya dan memaksanya menyipit. Lalu angin sepoi menerpa dan membuatnya menggigil. Lalu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Aurora merasakan dingin. Inikah rasa menjadi manusia?

***

Nenek Alasie mengamati langit yang tidak seperti biasanya. Larik-larik cahaya hijau, violet, dan kesumba tak lagi tampak. Ia belum pernah melihat yang seperti itu.

Alasie adalah salah satu tetua suku Inuit. Ingatannya paling awal saat tumbuh bersama keluarga adalah mensyukuri keterikatan dengan daratan, membangun tenda dari kulit hewan saat musim semi, membangun igloo dari es saat musim salju, dan bepergian dengan kereta yang ditarik husky. Saat itu tak ada penerangan listrik modern apa pun. Ia bersama keluarganya dan anggota-anggota suku hidup sederhana dan bahagia, puas atas apa yang diberikan oleh alam. Ia telah banyak melihat perubahan di lingkaran Arktika selama lima puluh tahun.

***

Aurora berjalan menuju sebuah permukiman. Terdengar suara tawa dan celotehan. Beberapa orang membentuk lingkaran mengelilingi api unggun. Mereka menoleh ke arah Aurora yang hanya mengenakan baju terusan pendek tetapi tidak menggigil. Mereka saling berpandangan heran.

Seorang perempuan bangkit dan menyambut Aurora. Perempuan itu menggesekkan cuping hidungnya ke ujung hidung dan pipi sang tamu. Aurora terkejut, tetapi tetap tenang. Si perempuan tertegun.

“Kau datang dari mana?” tanya perempuan itu. “Kau sepertinya bukan berasal dari sini.”

“Aku sedang berjalan-jalan, dari sana,” kata Aurora sambil menunjuk langit. 

Perempuan itu kembali tertegun, lalu berkata, “Aku Luna. Siapa namamu?”

“Aurora.”

“Aku rasa kau bercanda, tetapi yang pasti kau bukan berasal dari sini. Lihatlah, pakaianmu saja setipis ini,” ucapnya sambil mengamati pakaian yang dikenakan Aurora. “Dan kau tak membalas sapaan khas kami. Kalau dua orang bertemu, mereka akan saling menggesekkan cuping hidung dan pipi untuk saling mengingat baunya.” Aurora manggut-manggut.

“Karena itulah aku tadi menggesekkan cuping hidungku ke ujung hidung dan pipimu. Aku merasa akrab dengan dirimu.”

Aurora mendekat dan menggesek cuping hidung dan pipi Luna. Aroma Luna tak mengingatkannya pada apa pun. Ia menggeleng sambil tersenyum.

Luna tertawa kecil. Ia kemudian menggamit lengan Aurora dan membimbingnya ke sebuah tenda. Diberikannya kepada Aurora sebuah baju hangat berkerudung dari kulit karibu, sarung tangan, dan sepatu bot.

Aurora menerima dengan ragu-ragu. Sebenarnya ia tak bermasalah dengan dingin. Baginya, itu sensasi yang menyenangkan. Namun, ia melihat Luna mengenakan baju hangat. Jadi, manusia pasti mengenakan baju hangat. Aku pun harus mengenakan baju hangat.

Mereka bergabung dengan orang-orang di api unggun. Aurora menyapa semua orang, satu per satu. Tak mengingatkannya pada apa pun, memang, tetapi ia tetap tersenyum. Ia ikut duduk dan mendengarkan cerita. Ia jadi tahu bahwa Luna baru saja melahirkan beberapa hari yang lalu. Dan sang ibu baru dengan bangga memamerkan bayinya kepada Aurora. Aurora memekik gemas melihat wajah merah si bayi.

Sekian abad Aurora memperhatikan berbagai laku manusia, tetapi tetap saja takjub kepada mereka. Ia berusaha mencerna bagaimana bayi itu beberapa bulan sebelumnya masih berada dalam kandungan si ibu, dan bagaimana seorang perempuan menjadi inang bagi manusia baru.

***

Pada suatu malam musim dingin yang cerah, di bawah hamparan langit luas, seorang lelaki berpostur tegap berdiri di atas danau yang membeku. Uap napasnya bergelung di udara dingin saat menyiapkan sejumlah peralatan untuk mengamati langit dan sibuk mencatat angka-angka yang ditunjukkan oleh alatnya.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Aurora penasaran.

Lelaki itu terkejut dan mengalihkan pandangan ke arah suara yang menyapanya.

“Oh, aku sedang mencari tahu kenapa Cahaya Utara menghilang,” kata lelaki itu. “Hai, aku Billy Cox, dari observatorium Fairbanks. Kau siapa? Apa kau bagian dari tim peneliti?”

“Oh. Aurora?”

“Iya, aku sedang meneliti aurora,” tukas Billy.

“Namaku Aurora. Kau meneliti aurora?”

“Nama yang indah. Ya, aku sedang menelitinya,” kata Billy. “Sejak kecil aku terkagum-kagum melihat kilauan aurora yang menari-nari. Warna merah pada aurora adalah warna yang dihasilkan oleh molekul nitrogen, sedangkan hijau dihasilkan oleh molekul oksigen.”

Mata Billy berbinar. Sesekali tangannya bergerak-gerak saat menerangkan.

“Setiap jenis atom atau molekul, apakah itu atom hidrogen atau molekul seperti karbon dioksida, menyerap dan memancarkan rangkaian warna uniknya sendiri, yang serupa dengan bagaimana setiap manusia memiliki pola sidik jari yang unik.”

Aurora tersenyum lebar. Ia bertemu dengan seseorang yang mengagumi dirinya dengan cara yang berbeda. Aurora tahu bahwa, sejak bumi masih muda, manusia menganggap dirinya sebagai roh leluhur atau jembatan yang menghubungkan antara Dunia Tengah dan dunia langit yang mereka beri nama “Asgard”. Namun, lelaki di hadapannya ini mengagumi aurora sebagai bagian dari fenomena alam. 

“Sayang, sekarang entah kenapa aurora tidak lagi terlihat.”

“Apakah akan jadi masalah?”

“Yah, itulah yang sedang kami cari tahu.”

Aurora mengamati Billy dari pucuk kepala hingga ujung kaki, lalu mendekat, berusaha menggesek cuping hidung dan pipi lelaki itu. Billy melompat, lalu mundur.

Aurora tidak mengerti mengapa Billy tak membalas sapaannya seperti yang diajarkan Luna.

“Kau tidak seperti Luna dan lainnya.”

“Apa maksudmu?” tanya Billy, lalu terdiam sejenak, dan tertawa kecil. “Ah, karena aku tidak membalas sapaan Kunikmu?” 

Aurora tersenyum kikuk. “Apakah semua manusia sepertimu? Kalian begitu luas di dalam.”

Sedari tadi, Aurora tertarik pada kedua mata Billy yang berwarna biru laut. Saat memandangi mata itu, ia merasa masuk ke dalam sebuah dunia yang asing.

Mereka saling menatap sekian detik.

Lalu Billy mengemasi peralatan dan berkata, “Kau mau ke tempatku? Ada secangkir kopi hangat untukmu.”

“Iya.”

Billy mengajak Aurora menaiki mobilnya, lalu mereka berkendara menuju Fairbanks. Di apartemen Billy yang hangat, Aurora merasakan perutnya menjadi tegang setiap kali ia memandang Billy.

“Aku tak percaya dengan cerita orang Inuit bahwa gerakan aurora yang seperti tirai tertiup angin itu adalah perwujudan roh dan jiwa yang sedang berdansa di langit,” kata Billy. “Gerakan aurora yang terus berubah bentuk itu disebabkan variasi angin matahari dan medan magnet bumi. Polanya dapat muncul sebagai tirai atau sinar yang menari-nari dan bergerak cepat di langit.”

“Tapi, bukankah itu indah?” tukas Aurora. “Roh orang yang kita cintai tak menghilang, selamanya mereka bersama dengan kita.”

Jutaan kali Aurora melihat bagaimana manusia yang hidup memberikan hormat dan penanda kepada orang dekat mereka yang telah pergi ke langit.

Saat mereka menghabiskan waktu berjam-jam dengan mendiskusikan sains dan cerita tentang aurora, suara tawa bergema di apartemen. Kehangatan berlipat ganda dan makin mendekatkan dua orang itu.

Aurora merasa seperti tersengat saat Billy menggenggam tangannya. Aurora hanyut dalam kehangatan pelukan yang membuatnya tak ingin lagi merasakan dingin.

“Aku suka rasa kulitmu di kulitku. Membuatku merasa sangat terhubung denganmu,” kata Billy.

Aurora tersipu. Bisiknya di telinga Billy, “Aku menyukai sentuhanmu. Itu membuatku meremang dan segalanya menjadi lebih intim.”

Lewat jendela apartemen, Aurora melihat langit yang putih semata.

Selama beberapa hari kemudian, Aurora melakukan banyak hal bersama Billy. Billy mengajarinya cara menggoreng telur mata sapi, memanasi air untuk membuat kopi, atau mengatur suhu di alat pemanas ruangan. Billy mengajak Aurora ke pusat kota, duduk-duduk di sebuah kafe, dan memperhatikan orang lalu-lalang. 

Seminggu setelah tinggal bersama, pada suatu petang, ketika mereka berpelukan di sofa dalam romansa, sebuah panggilan telepon masuk. Setelah menerima telepon itu, Billy menjadi pucat pasi dan terdiam lama sekali.

“Kenapa?” tanya Aurora.

Tatapan mata Billy kosong. Katanya, “Ibuku meninggal.”

Aurora diam saja. Ia teringat Luna. Namun, secara naluriah ia memeluk Billy ketika lelaki itu menghambur padanya dan mendekapnya, lalu menangis sedu sedan.

Aurora melihat wajah ibunda Billy di peti mati saat mereka datang untuk upacara pemakaman. Dia pernah hidup bahagia dan kini meninggal. Aurora teringat pada kisah-kisah roh leluhur.

Aurora membersamai Billy dalam masa dukanya. Aurora pun berusaha mencerna apa itu kematian dan apa itu duka. Ini pertama kalinya ia melihat kematian dari dekat. 

Seiring berjalannya waktu, Aurora mulai menyadari bahwa menjadi manusia memiliki tantangan tersendiri. Ia mengalami kegembiraan, tetapi juga kesedihan, dan cinta, tapi juga patah hati, serta tawa, tapi juga air mata.

***

Semenjak cahaya utara tak tampak lagi di langit, para ilmuwan dan aktivis lingkungan bekerja lebih keras. Bumi tak lagi punya perlindungan yang memadai terhadap badai matahari, yang akan berpengaruh pada iklim, terutama di kawasan kutub. Juga para spiritualis resah karena merasa kehilangan jembatan dengan roh-roh leluhur.

Bagi suku-suku yang tinggal di dekat Arktika, seperti Inuvialuit di Kanada, cuaca dan lokasi berburu semenjak hilangnya aurora memang menjadi semakin tidak dapat diprediksi. Suhu lautan dan udara di wilayah Arktika meningkat dua kali lipat dan menyebabkan lapisan es mencair. Segala pengetahuan tentang alam yang turun-temurun diwariskan tak dapat mengejar perubahan iklim yang begitu drastis.

Di antara rasa bahagia dan penuh cinta yang ia nikmati selama bersama Billy, Aurora merasakan ada sesuatu yang meresahkan akan datang kepadanya. Apa pastinya sesuatu itu, ia tidak bisa memastikan. Terlalu halus dan sulit untuk disebutkan. Namun, ia merasakan sesuatu itu merayap keluar dari langit, menjangkau ke arahnya melalui suara, aroma, dan warna yang memenuhi udara.

Lalu, pada suatu hari, sesuatu itu sampai. Saat itu, Aurora sedang berjalan-jalan agak jauh dari pos pengamatan Billy.

Aksarnirq.”

Aurora terkejut karena ada yang memanggil namanya dalam bahasa Inuit. Ia menoleh dan melihat Nenek Alasie.

“Kau tahu yang terjadi kepada suku kami bila kau tak kembali?” tanya Nenek Alasie.

Aurora tahu bahwa nenek itu tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

“Kaulah yang selama ini kami puja,” ucap Nenek Alasie. “Tapi, sejak kau menghilang, dunia ini semakin dekat dengan kehancurannya. Perubahan iklim memengaruhi makanan yang kami makan, udara yang kami hirup, air yang kami minum, dan tempat-tempat yang memberi kami perlindungan. Kaulah pelindung kami.”

Aurora berpikir bahwa pengalamannya menubuh menjadi manusia adalah kesempatan langka. Sejujurnya, ia tak ingin kembali ke atas sana. Namun, terlepas dari semua pengalaman ini, Aurora merasakan tarikan yang tak terbantahkan ke arah langit. Aku selama ini berbohong pada diriku sendiri.

“Aku tahu yang Nenek maksud,” kata Aurora.

“Hei, ke mana saja kau?” tanya Billy tiba-tiba seraya memeluk Aurora. “Keadaan tak begitu bagus. Akan terjadi badai matahari, tapi bumi tak punya cukup perlindungan.”

Aurora melepaskan pelukan Billy. “Kau ingat dongeng tentang Cahaya Utara?”

“Iya, tentu saja,” jawab Billy. “Tapi, itu ‘kan hanya dongeng. Seperti yang pernah aku jelaskan, itu semua karena tabrakan molekul-molekul.”

“Tidak, itu bukan sekadar dongeng,” jawab Aurora. Ia menengadah dan memandang kepingan langit yang tak sabar menunggunya.

“Dia harus kembali ke asalnya, jika tidak, dunia tak akan bertahan,” kata Nenek Alasie kepada Billy.

“Apa maksudmu? Siapa kau?” bentak Billy.

Aurora memegang tangan Billy perlahan. Perlahan-lahan, cahaya warna-warni menyelimuti tubuhnya.

“Kau mengenali cahaya-cahaya ini? Dunia di bawah sini memang sangat berbeda dari yang kulihat dari atas. Meski aku sangat suka di sini, ini bukanlah tempatku.” Billy ternganga habis kata.

“Ada yang ingin kukatakan sebelum aku pergi. Aku telah mencari-cari sebuah kata. Kata yang besar dan rumit, tetapi begitu nelangsa,” kata Aurora. “Kini aku menemukannya.”

“Kata apa?”

“Hidup. Aku hidup.”

“Hidup tidaklah nelangsa,” ucap Billy.

“Nelangsa saat berakhir.”

“Kumohon, jangan pergi,” kata Billy.

Lelaki itu berusaha mendekap Aurora. Namun, Aurora telah berubah menjadi larik-larik cahaya yang kemudian membubung ke langit. Ia kembali menjadi cahaya hijau di langit utara, menari-nari bersama roh nenek moyang.

“Roh ibumu kini dapat menari di langit,” kata Nenek

Alasie seraya menepuk pundak Billy.***


[1] Dikutip dari larik puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Manusia Pertama di Angkasa Luar”.