Menu

Antara Pakem dan Sarkem | Endry Paijo Sulistyo

Tulisan secuil ini berkisah tentang seorang tokoh, yaitu Suminto A. Sayuti. Pertama kali saya bertemu dengan yang empunya nama adalah ketika kuliah pertama kali di FPBS, IKIP, Karangmalang. Mungkin waktu itu mata kuliahnya Pengkajian Fiksi, yang pasti berkaitan dengan sastra. Ruang kelas cukup luas, menampung 80 mahasiswa, satu jurusan/angkatan, yaitu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di lantai tiga yang tempat duduknya berdesakan, kuliah rasanya seperti menikmati sebuah pertunjukan monolog.

Benar saja, jika semua mahasiswa datang, ditambah mahasiswa yang mengulang mata kuliah tersebut, jumlahnya lebih dari 80 dan menariknya, semua perhatian tertuju pada tokoh kita ini. Saya adalah salah satu yang terpana dengan metode perkuliahannya. Cukup sederhana, yaitu ceramah dicampur pertunjukan (baca puisi), dan diselipi inkuiri. Misalnya, untuk menerangkan analisis sebuah puisi, beliau membacakan beberapa puisi karya penyair Indonesia lepas teks. Selanjutnya beliau menjelaskan teori yang sebelumnya disebutkan. Setelah itu beliau membaca puisi-puisi yang lain dan para mahasiswa diminta menganalisisnya. Yang menjadi titik perhatian darinya adalah ketika sedang membaca puisi, sangat menjiwai, hafal, dan pintar memilih puisi, utamanya adalah puisi yang memikat. Itu sebabnya kenapa saya dan beberapa kawan menjadi terpikat puisi.

Saya mengenal namanya ketika di bangku SMA atau malah SMP. Saya membaca karya puisinya di sebuah antologi puisi terbitan Jogja, dan pernah mendapatkan karyanya di Koran Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi. Wayang dan kebudayaan Jawa adalah tema yang kental di dalamnya. Tetapi, saya tidak menduga bahwa penyair-dosen ini telah mengajar saya di sebuah ruangan bercat krem yang dipenuhi kursi. Oh, ini orangnya, batin saya. Kumisnya lebat, postur tubuh dan gaya bicaranya seperti Bratasena, tokoh Pandawa dalam wayang purwa.

Pada suatu saat, beberapa kali kuliahnya kosong. Saya beranikan diri mendatangi meja kerjanya, dan ketemu. Saya bertanya, kenapa kuliahnya kosong? Adakah waktu penggantinya? Alasan dan solusi tersepakati tanpa berbelit-belit. “Sampaikan maaf saya pada teman-teman,” pesan beliau atas hal ini. Kuliah pun terlaksana. Di kemudian waktu, kuliah dalam kelas kecil tidak mesti dilakukan di kelas. Terkadang di bawah tower air FBS, di parkiran, di bawah samping tangga Gedung C-013, di lab karawitan, bergantung kesepakatan. Dan saya adalah mahasiswa yang sering mendapatkan kuliah secara pribadi di ruang kerjanya. Meskipun demikian, materi kuliahnya sampai, tidak main-main sebagaimana kuliah pada umumnya.

Ada banyak ilmu sastra saya serap darinya. Yang paling mendasar adalah cara menikmati puisi. Jika kenikmatan telah didapat, akan mudah mempelajarinya. Ilmu dasar lain adalah menganalisis puisi. Ketika itu, di FPBS, sepertinya hanya beliaulah yang berkompeten. Saat menyampaikan gampang dicerna, terstruktur dengan rapi, dan ini yang saya sukai, diselingi cerita-cerita yang mendidik. Oleh karena hal ini, saya yang sebelumnya suka puisi menjadi tambah tertarik. Saya mencoba menulis puisi dengan gaya yang saya tiru dari penyair-penyair Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, satu tumpukan kertas kuarto yang jumlahnya mungkin mencapai 50 judul. Kertas buram yang tulisannya ketikan mesin ketik merk Brother itu ternyata dibaca semua. Semua lembar-lembar tersebut dicoret-coret berbagai macam keterangan. Alangkah senangnya. Ketika pulang, di bus kota jalur tujuh, bendelan itu saya baca-baca. Di bus jurusan Jogja-Wonosari saya baca-baca. Sesampai rumah, saya baca-baca. Ada hal-hal yang tidak saya mengerti. Ada banyak hal yang membuka cakrawala saya tentang ilmu puisi.

Setelahnya, saya menulis lagi. Satu bendelan puisi saya serahkan. Diterima, dibaca, dan dicoret-coret. Jika pertama kali menyerahkan, saya mendapatkan sanjungan, yang kedua ini saya mendapatkan warning, untuk banyak lagi membaca. Nah, tidak sampai di situ, saya di lain waktu menyerahkan bendelan lagi. Tetapi, untuk yang ketiga ini tidak ada satu pun coretan di kertas. Saya tidak mendapatkan pujian, karena pikir saya, mungkin kualitas karya saya jadi berkembang, eh saya malah mendapatkan makian, dimarah-marahi, dan diminta berhenti nulis puisi. Saya sakit hati dan bersumpah tidak akan menemuinya.

Di perjalanan, saya melupakan puisi. Tapi tidak bisa. Saya baca-baca lagi puisi yang saya tulis. Saya meminjam buku-buku puisi di perpustakaan. Saya banyak melahap puisi penyair-penyair. Darinya, saya melahirkan lebih banyak lagi puisi. Dan kali ini, puisi-puisi saya serahkan ke seorang begawan sastra di Yogyakarta. Di kemudian waktu, saya yang waton gabrus-gabrus jadi paham bahwa pola didikan beliau nampaknya seperti itu. Bertahap, jelas, disertai menggembleng mental, mendidik, dan apa adanya. Ada dua-tiga kawan yang tumbang dengan didikan ini. Tumbang dalam arti negatif adalah mutung, memutuskan berhenti berproses seketika. Asal tahu saja, jika tidak berkenan, segala pisuhan akan keluar dengan serius. Saya tidak hanya sekali disuruh keluar dari ruangannya hanya karena saya salah ucap atau ketidaksepakatan prinsip. Kata “asu” yang cukup kasar bagi masyarakat akademik macam beliau, menjadi sapaan hangat di antara kami. Jenis-jenis binatang atau anggota tubuh adalah bumbu pelengkap yang keluar dengan leluasa. Akan tetapi, di balik itu saya memunguti kejujuran dan kesederhanaan.

Mungkin, saya adalah salah satu mahasiswa yang berani main ke rumahnya. Di atas pasar Pakem, Sleman yang dingin, beberapa kali saya ke sana. Kawan karib main ke rumahnya biasanya Endry Paijo dan Faiz Jangol. Terkadang kawan-kawan lain berganti-ganti. Kedua karib ini, adalah mahasiswa kesayangan beliau. Oya, jika kami datang, tidak tanggung-tanggung, datang sore selepas Isya, pulangnya pukul dua dini hari atau Subuh. Dusun yang dingin itu menjadi hangat karena obrolan. Saya tidak membayangkan, beliau yang waktu itu Doktor, dengan senang hati menerima mahasiswanya hanya sekedar bercerita ngalor-ngidul. Istrinya, Ibu Suharti atau anaknya, Mbak Sekar, terkadang membikinkan kopi dan menyediakan makan bagi kami. Alangkah terbukanya pintu rumahnya bagi kami.

Seingat saya, dulu beliau dipanggil “Mas Guru” oleh warga sekitarnya. Jika kami lewat gang menuju rumahnya dan kebetulan berpapasan dengan warga, mereka pun akan bertanya, “Mau ke rumah Mas Guru ya, Nak?” Saya geli mendengarnya, sebab betapa puitisnya sebutan itu. Salah satu pesan yang saya ingat adalah, jika mau main sebaiknya tidak di hari Minggu, sebab di hari libur itu beliau akan bertani di sawah, sawahnya tidak jauh dari rumahnya.

Ketua Masyarakat Karawitan Jogjakarta (Maskarja) ini banyak memegang jabatan dalam struktur kelembagaan, misalnya redaktur ahli di beberapa jurnal ilmiah. Pendiri cikal bakal Unit Studi Sastra dan Teater (Unstrat, UNY) ini dikenal ringan tangan membantu kerja-kerja kreatif mahasiswa. Tiga kali saya dibiayai secara pribadi oleh beliau, tepatnya ditambahi uang saku, yaitu ketika saya mengikuti Kongres Mahasiswa Sastra Indonesia di Pontianak (1999), Kongres Cerpen II di Jembrana, Bali (2002), dan ketika saya bersama kawan-kawan UNSTRAT mementaskan teater eksperimental di Universitas Andalas, Padang (2003). Di tahun 2004 atas rekomendasi beliau, saya berangkat ke Palembang menjadi peserta workshop penulisan esai Majlis Sastera Asia Tenggara. Secara politis, kerja-kerja kreatif saya, baik di kampus maupun di luar kampus pun banyak dibantu.

Entah tahun berapa tepatnya, gedung bekas ruangan dosen FPBS timur (sekarang menjadi Fakultas Ekonomi) suatu waktu diberdayakan kawan-kawan sebagai tempat berproses kreatif. Salah satunya adalah lahirnya Sanggar Kegiatan Mahasiswa, kemudian disingkat SARKEM. Nama ini, seingat saya, diusulkan oleh kawan Wiranto, mahasiswa seangkatan, Jurusan Seni Rupa. SARKEM berkembang menjadi wadah mahasiswa berdiskusi, workshop, pementasan, latihan seni, dll. Kelompok SARKEM juga mengadakan pementasan ke luar kampus. Jika ada acara di SARKEM, kawan-kawan dari luar turut datang.

Singkat cerita, SARKEM dikenal publik. Atas hal ini, banyak dosen merasa terganggu dengan nama yang disandangnya. Sebab, masyarakat umum tahunya, SARKEM itu Pasar Kembang, sebuah daerah lokalisasi di selatan stasiun Tugu (Sosrowijayan). SARKEM sempat diancam dibubarkan dan gedung ditutup. Akan tetapi, Suminto A. Sayuti berada di depan mahasiswa untuk mempertahankan nama SARKEM. Nampaknya, manuver-manuver jenis seperti ini yang kelak di kemudian waktu “membahayakan dirinya” di tingkatan senat, sekaligus menggagalkan dirinya menjadi rektor.

Banyak cerita tentang beliau yang lambat laun hilang dari ingatan saya. Di fesbuk ini saya mencoba menulis sesuai dengan yang saya alami, sejarah kecil versi saya. Para pembaca yang budiman mungkin memiliki cerita berkesan yang bisa Anda tulis, sehingga saya bisa turut menikmatinya. Nah, di akhir tulisan ini, saya sertakan satu judul puisi saya tentang beliau yang saya ambil dari buku puisi saya, “Piknik yang Menyenangkan” (2012).

MENJELANG SUBUH
: teringat Suminto A. Sayuti

Di Pakem, kulit rasanya ditempeli besi
Minta ampun, aku digigit sepi
Dan sajak, seperti tak beranjak
Ketika dingin melekati tubuhnya

Percakapan segera kusimpan. Sebentar
Lagi muazin menyeru dari musala
Di perkampungan bawah sana. Aku pun
Ingin mendengarnya, seperti ketika bonang
Dan gambang menyerukan kasmaran
Seperti ketika rebab memekikkan sembab
Yang ditahan-tahan

Beberapa waktu lagi, lakon bakal digelar
Saat langit merekah di sebalik Merapi dan
Perkutut menembangkan megatruh di atas
Gamelan, tritisan pendapa

Tapi, tak ada kata aduh. Semua pasti
Akan tertulis dalam lembar-lembar puisi

Tentang sawah, wayang, kembang
Dan sesuatu yang selalu gagal ditangkap
Dan dituliskan

Blunyahgede, 2008

Tuliskan komentar