Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama.
Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama.

Anomali dan Estetika Paradoks

Seorang pemuda di jembatan layang sekitar terminal Kertasura melamun dan merenung, juga merokok. Ia dikira akan bunuh diri. Padahal, pelaku bunuh diri justru orang lain. Adegan cerita pun lanjut berkisar di jagat lamunannya yang kalut sekaligus murung. Begitulah cerpen “Jembatan dan Yang Tetapi” (Joglosemar, 21/02/2016) jika diperas.

Cerpen Qadhafi ini menawarkan dua respons kontras kepada pembaca. Pertama, bingung tak keruan dan jengkel. Kedua, latihan sabar dan menjadi pembaca simpatik. Yang pertama muncul sebagai akibat dari pola cerita yang ganjil, kebak enigma, namun sekaligus diam-diam terlalu misterius untuk dilewatkan; sedangkan yang kedua menyiratkan betapa seorang pembaca perlu menantang diri untuk menjadi pendengar simpatik kepada pengarangnya, juga kepada narator dan tokoh.

Keduanya sama-sama melayani hasrat rasa penasaran, yang sering menyiksa itu, agar bisa tiba di titik-rampung cerita. Namun, ada opsi ketiga, yang lebih negosiatif: Anda boleh “tetap bingung” sembari berlatih menjadi “pembaca simpatik” terhadap cerpen tersebut.

Beberapa alasannya dapat dipetakan ke sejumlah pola kasar. Kita bisa tengok segi penyajian bentuk dan estetikanya lebih dulu, sebelum pada akhirnya merasuki, menerka-nerka, bahkan menafsirkan aspek maknawi (substansi) yang ingin dicapai pengarang lewat cerpen tersebut.

Estetika Paradoks

Dalam kesenian, termasuk kesusastraan, estetika dapat mengambil bentuk lewat pertentangan dua hal yang bersatu-padu. Begitulah kira-kira, secara sederhana, pengertian estetika paradoks. Hal itu dapat kita cermati dari sekujur cerpen Qadhafi. Sejak dari pembuka, Qadhafi sudah menampilkannya lewat paragraf-paragraf yang relatif ringkas:

Yang di bawah jembatan menyeru-nyeru, menyepak pikiranku dari lamunan yang keras kepala.

“Oei… tahan… jangan lompat! Jangan bunuh diri!” Kemudian kata-kata lain menyusul, kurang jelas terdengar.

Tetapi justru teriakan mereka itulah yang hampir membunuhku. Yang mengejutkanku. Yang membuat pantatku bergeser dari tiang pembatas jembatan. Padahal aku sendiri tidak sedang berniat mati dekat-dekat ini.

Dan menghambur-hamburkan napas bukanlah cara canggih membela diri. Maka, aku melongok ke bawah jembatan, ke arah mereka, tersenyum wajar, lalu menyulut sebatang rokok. Dengan sesantai mungkin. Dan cukup dengan begitu, pikirku, mereka akan langsung mengerti bahwa tak ada tanda-tanda kedatangan Maut dari senyum dan caraku merokok.

Tetapi mereka tetap menyeru, melambai-lambaikan tangan, membuatku kembali merasa sedang berdiri pada papan loncat kolam renang, sedangkan mereka adalah para turis, para penonton, yang histeris, yang menanti aksi terjun ke kolam. Dan bunyi sirine mendekat, membuka konser di kolam renang.

Abaikan dulu kalimat yang terjepit tanda kutip (dialog). Kini perhatikan setiap awalan kata di tiap paragraf. Betul, semuanya adalah konjungsi! Bahkan porsi terbanyak adalah konjungsi intra-kalimat, dengan kata “Yang” sebagai pengecualian (konjungsi subordinatif atributif).

Konjungsi intrakalimat tersebut, dalam aturan baku penulisan, adalah “haram” hukumnya sebagai pembuka kalimat. Ia berfungsi menjadi penghubung kata, frasa, anak kalimat, atau klausa yang sederajat. Sebenarnya peletakan konjungsi di awal masih bisa termaafkan, selama diberi tanda koma (,) setelahnya. Hanya, itu tetaplah sebuah “bidah” dalam tata-tertib kepenulisan baku.

Sementara itu, dalam karyanya, Qadhafi memilih menekuni bidah tersebut secara berulang. Nyaris setiap awal kalimat—dalam banyak porsi di sekujur cerpen ini— menggunakan konjungsi. Di sinilah letak “pembangkangan” si pengarang terhadap standar kebakuan yang sering kali rigid dan membelenggu. Itulah titik keganjilannya: ketidakpatuhannya. Sebuah keputusan kreatif yang lahir dari rahim pembangkangan.

Secara paradoks, jika kita cermati lagi secara berjarak, cerpen ini juga masih mendayagunakan “ketertiban” struktur: baik plot, tokoh, dialog, maupun ketegangan, dan tidak sepenuhnya kacau-balau (chaotic). Itu artinya cerpen ini memuat anasir paradoks, yaitu bahwa di dalam pembangkangannya, ia toh masih mengamini dan taat pada struktur pakem sebuah cerpen. Pengarang memberontak tidak secara kaffah. Ia masih menggunakan perangkat kesepakatan lama bahwa cerpen mesti mengandung unsur-unsur yang telah disebutkan tadi.

Dari sini, estetika paradoks menjadi relevan. Jakob Sumardjo (2006) menyodorkan sebuah perspektif bahwa karya seni, termasuk karya sastra, kerap menampilkan aspek estetiknya dalam wajah yang kembar oposisioner, tetapi saling melengkapi. Istilahnya completio oppositorum. Ia membangkang sekaligus patuh. Namun, pembangkangan itu yang memperkaya kepatuhan—aspek yang tidak akan semenarik itu jika disajikan dalam bentuk kepatuhan total terhadap pakem an sich.

Ulasan Triyanto Triwikromo yang berjudul “Cari Tepi Cari Tawa”atas cerpen ini sebetulnya sudah menyadari aspek paradoks tersebut. Hanya, ulasannya teramat samar dan tidak eksplisit merekognisi “estetika paradoks” yang ditampilkan. Triyanto kemudian terpukau oleh aspek polifonik setelah memeras antara littera (tulisan) dengan vox (suara) dalam cerpen ini. Baginya, cerpen Qadhafi adalah kisah multisuara.

Namun, saya menemukan estetika paradoks lebih berperan dan penting untuk diangkat. Contohnya tidak hanya terpendar dari permainan konjungsi di awal kalimat. Lebih dari itu, ia juga menampilkannya—baik secara sengaja atau tidak—pada sikap dan ekspresi tokoh “aku” yang serba gamang. Ia berani sekaligus kecut. Ingin melanggar, tetapi akhirnya batal. Dan, meski begitu, keinginan untuk melanggar saja itu pun sudah sebentuk pembangkangan kecil. Seperti dapat kita baca di potongan berikut:

“Walau semula berniat mencontoh etika pelanggar lalu lintas, tetapi niatan itu segera sirna. Sebab jalan di hadapanku sedang ramai-ramainya. Sebab orang-orang berkendara seperti dalam perlombaan, bersalip-salipan, dan pantang terlihat lamban.”

Setiap kalimatnya pun masih menggunakan konjungsi. Sisipan komentar sosial juga membumbui cerita, yaitu bahwa “hawa kompetitif” dan “hasrat kuasa” ternyata merabuki jalanan. Kerumunan orang seperti berlomba, saling menyalip satu sama lain, dan enggan dicap lelet. Amatan psikologi budaya itu sublim di banyak tempat pada cerita ini.

Repetisi Ritimis dan Antiklimaks

Cerpen ini banyak mengandung pengulangan yang terasa seperti ketukan ritmis. Konjungsi “Lalu”, “Sebab”, “Tetapi”, “Yang”, sampai “Dan” disodorkan berulang kali sebagai awalan kalimat yang relatif puitis. Lanjutan kalimatnya pun kaya metafora yang tidak umum. Repetisi ini berhasil memberi dua efek pengalaman membaca. Pertama, suspensi: rasa-takmenentu yang memicu pembaca lanjut mengulum cerita— terlepas apakah pembaca paham isinya atau tidak. Kedua, daya-hanyut puitis dan berima yang terbangun dalam sebuah prosa.

Untuk yang terakhir itu, ada alasan analitis yang penting dipertimbangkan. Valeri Shaw lewat The Short Story: A Critial Introduction (2014) menilai bahwa seorang pengarang yang sanggup mendayagunakan “puisi lirik” dalam cerpen akan punya keistimewaan (privilese) tersendiri. Selain dapat memberi pembaca “rasa buncah” (high excitement), unsur puisi lirik dan rima yang proporsional dalam cerpen juga mampu menawarkan “jalan pelarian” (eskapisme) dari realitas eksternal yang serba sumpek.

Kemudian ada satu aspek lagi dari kacamata Michelle Hope Anderson (2016). Sisi puitis dalam cerpen mampu memadatkan mood dan unsur emosional pun menjadi lekas merambat ke batin pembaca. Metafora yang tak lazim (baca: kreatif) dan repetisi yang dipadukan dengan citraan (imagery) ikut berkontribusi mempertebal efek emosional dan sensasi tertentu. Dalam konteks tersebut, cerpen Qadhafi berhasil. Tampak dari cerpennya bahwa dia pun seorang yang punya selera-puitik atau pembaca puisi yang tekun. Dari segi pengolahan metafora, ia juga cukup cerdas dan tidak klise. Seperti “dua puluh anak tangga yang yatim” untuk tangga jembatan yang jarang disapa dan digunakan orang; lalu “omnivora-omnivora beroda” bagi kendaraan di bawah jembatan penyeberangan; sampai “seperti pacarku, senja itu suka merayu dan cantik luar biasa di waktu-waktu tertentu”.

Namun, pada konteks yang berbeda, ia gagal membangun klimaks. Poin ini yang menggembosi mutu cerpennya. Pasalnya, suspensi dan daya hanyut puitis yang disodorkannya tidak cukup mendidih hingga ke titik puncak.

Seolah pengarang tengah asyik sendiri membangun estetika bentuk dan penyampaian, namun luput menyusun konflik dan resolusi yang menyisakan “gema” di akhir.

Sebuah konflik memang tidak harus berupa peristiwa besar. Ia dapat mengambil bentuk pertentangan batin, monolog internal, atau kegusaran hati si tokoh. Meski begitu, konflik dalam cerpen bermutu tetap perlu menanjak hingga ke ubun-ubun pembaca. Sekurang-kurangnya ia harus mengusik kita, menancapkan tanda tanya ke banyak arah.

Sayangnya, di sini, hingga di titik akhir cerpen, Qadhafi memilih jalan landai. Tokoh “aku” berjongkok, memutar jam melawan arah galibnya, sambil tanpa sadar diseret sosok bertangan kasar untuk turun jembatan. Mungkin ini ada kaitannya dengan kalimat di tengah cerpen: “Yang kuinginkan sekarang hanya main-main”. Begitu pula cara cerpen ini sampai kepada pembaca. Permainan diksi, konjungsi, dan metafora yang canggih, namun sepi konflik dan kering-makna; seperti tokoh “aku” yang tampaknya memang mengalami fase itu (kering-makna, atau bahkan mati rasa karena persoalan hidup dan kekalutan eksistensial?).

Dwimakna Jembatan

Terlepas dari sisi landai tersebut, Qadhafi seperti sedang menawarkan cara baru dalam memandang konjungsi. Ia tidak lagi memfungsikannya sebagai kata hubung. Konjungsi juga dapat berfungsi sebagai pembuka awal yang baru, gerbang ke kisah selanjutnya. Sama seperti kegunaan jembatan dalam cerpen ini. Ia bersifat dwimakna dan dwifungsi. Secara literal, jembatan sebagai benda (berfungsi sebagai latar tempat cerita berlangsung dan tumbuh). Secara simbolik, jembatan juga bermakna konjungsi yang diberdayakan di seluruh tubuh cerpen.

Di luar itu, ada aspek maknawi dan sisipan kritik sosial halus. Jembatan layang untuk menyeberang telah malih-fungsi. Ia tidak lagi dipakai untuk penyambung dari satu sisi ke sisi seberangnya tanpa mengusik pengendara di jalan, tetapi kini digunakan sebagai tempat tidur, kencing, hingga “papan loncat” untuk melepaskan nyawa dari badan sendiri. Di sini daya-kupas pengarang tampak cermat sekaligus segar dalam menyajikan perspektif semacam itu.

Kemurungan dan Anomali Respons Emosional

Langgam emosional paling menonjol dari tokoh “aku” adalah kemurungan. Isi kepalanya seperti berkabut. Penuh pertimbangan dan terasing secara sosial—atau sebut saja pribadi yang “dari kumpulannya terbuang” (detached personality).

Tokoh “aku” menjarak, bahkan dari kekasihnya sendiri. Itu karena pacarnya seorang pencemburu. “Dalam satu minggu, pacarku bisa cemburu sebanyak dua hingga tiga kali, sebanyak itu pula dia mengancam akan bunuh diri.” Kekasihnya memberi batas hanya satu hari agar menemuinya. Jika tidak, bisa jadi pacarnya memutuskan bunuh diri betulan.

Desakan itulah, yang “dalam dua tahun terakhir, tentu dia telah berutang 200 nyawa”, membuat kepribadian tokoh “aku” retak. Ia menjelma sosok unik karena “menyimpang” dan pecah (disintegrated) dengan gaya absurd. Seperti ada kehampaan yang dalam, rasa muak bercampur kalut, sambil bersikap masa bodoh terhadap hidup.

Ia sendiri enggan bunuh diri. Namun, begitu melihat orang lain, si “singlet putih” meluncur jatuh dari jembatan, yang membuat kerumunan (penonton) di bawah histeris, ia malah “hampir saja tepuk tangan”. Ini tentu sebuah respons emosional yang tak lazim. Sebuah anomali, sebuah potret terpecahnya kepribadian seseorang.

Entah gestur “hampir tepuk tangan” itu sebuah refleks ganjil dari seseorang yang kalut pikirannya sehingga tak sadar ingin merespons bagaimana (disfungsi empati?), atau justru tepuk tangan itu menyandikan sebuah kode. Seolah ia ingin mengucap: “Selamat! Akhirnya kau bisa hengkang dari hidup yang keparat dan penuh ancaman ini.”

Di ruang kebimbangan interpretasi “hampir tepuk tangan” itulah—menurut hemat saya—mutu cerpen Qadhafi bertumpu.***