Rohana mulai bertegur sapa dengan bapaknya. Lelaki itu bertahun-tahun merajuk agar aku mendekatkan hubungannya dengan anak kami yang tersendat sejak ia mencampakkanku, membekaskan kesakithatian yang dalam. Sulit kuterima dengan akal telanjang, begitu gampang ia berpaling ke lain perempuan, sementara ketika menghendakiku semasa kami masih lajang dulu, ia demikian gigih untuk meraihnya. Kemudian, setelah kami benar-benar hidup bersama, tak sekalipun aku melenceng dari kesepakatan-kesepakatan kami dalam janji untuk berumah tangga dalam naungan saling sayang dan bahu membahu menghadapi hidup.
Tapi yang kuhadapi sekarang ini, kesendirian sebagai orang tua tunggal bagi putri kami semata wayang. Itu pilihan paling menguatkan sebab pada awalnya ia juga merajukku agar sudi dimadu. Dasar buaya! Lelaki mata keranjang! Si hidung belang! Preman jalanan! Ah, entah sumpah serapah apa lagi yang pernah kulontarkan ke mukanya sesaat setelah ia kemukakan niatnya. Dan sejak itu, amarahku selalu di ubun-ubun tiap kali kulihat mukanya merayu kerelaanku untuk tak menjauhkan ia dengan Rohana.
Tetapi waktu perlahan berjalan. Amarahku sedikit demi sedikit berkurang. Rohana mulai besar, dan aku mulai belajar tentang banyak hal. Menjadi orang tua yang semestinya bertambah sabar, sekaligus menjadi ibu dengan pengertian sepanjang jalan. Aku memang bukan perempuan buta huruf, tetapi juga bukan perempuan bersekolah tinggi, namun demikian, aku mendapat banyak pelajaran dari berbagai pengalaman pahit keluarga kami dulu, ditambah kesulitan-kesulitan hidup yang kuhadapi kali ini menambah kearifanku. Seiring dengan pertambahan usiaku juga, bertambah pula kedalaman berfikirku ketika bertindak begini dan begitu. Aku sering menguji sekian tindakan yang sudah dan akan kujalankan. Demikianlah hingga tumbuh kesadaran baru bahwa mantan suamiku dengan anak kami adala adalah bapak anak yang tak boleh kupisahkan.
Apalagi kesakithatianku suatu kali, kini mulai merekahkan kebahagiaan demi melihat anak perempuanku itu perlahan menerima keberadaan bapak yang meninggalkan emaknya di waktu lalu. Dari bapaknya ia memang hanya mendapat uang saku sekedarnya dalam waktu tak tentu, tapi sekurangnya ia merasa memiliki sepasang orang tua sebagaimana teman-temannya mempunyai emak dan bapak. Kendati kemiskinan kami tidak beranjak, syukurlah, Rohana; harta kekayaanku, beranjak dewasa memperlihatkan kesukacitaan.
“Kenapa Emak lama sekali berdoa?” Ia menggelosor di dekatku.
Aku selesai ketika Rohana hampir tertidur di ujung kakiku. “Kita harus banyak mendekatkan diri pada Allah, memohon agar dilancarkan jalanmu menuntut ilmu. Seminggu lagi pengumuman. Jika lulus, kau melanjutkan ke sekolah yang sesuai dengan kondisi kita sekaligus dengan kesenanganmu. Kata ibunya Rianti, kalian berdua sudah sepakat ke SMEA kabupaten. Ibunya kemarin bilang padaku.” Kusembunyikan sebersit kekhawatiran yang mengusik.
“Aku ke SMA dekat sini saja. Ke SMEA kan mahal. Kecuali Bapak mau membeayaiku,” suaranya samar.
“Sejauh emak masih bisa menghidupi kita, emak lebih bangga mengentaskanmu seorang diri. Tapi jika bapakmu bersedia, terserah kaulah. Emak tak menghalangi.”
Aku pergi ke dapur, memeriksa persediaan kebutuhan esok. Begitulah keseharianku. Siang bekerja, dari mulai mencuci kedelai Mbah Suli; Sang Penjual Tempe, lalu mencuci baju keluarga Bu Hartuti, atau membersihkan rumah Bu Neng setiap Rabu, kadang bekerja di sawah atau ladang, atau mencuci piring di hajatan tetanga. Hampir seluruh waktuku untuk bekerja. Kecuali Minggu, aku meliburkan diri, menikmati waktu seharian dengan Rohana, merasakan masakannya. Setiap Minggu, dia berlatih memasak.
Tetapi sejujurnya belakangan ini aku tegang. Konon, kelulusan sekolah itu tak mudah. Sedang Rohana murid SMP N I, tempat anak-anak pintar dan kaya sekolah di sana. Jika ia lulus, aku sungguh beruntung akhirnya bisa juga meluluskannya dari sekolah pilihannya. Di sanalah kebanggaannya tumbuh. Meski ia hanya anak tukang cuci, janda dari bos para tukang ojek, ia bisa juga sekolah di sekolah terbaik.
Memang kabarnya sekarang ini pemerintah membebaskan sekolah bagi siswa yang tidak mampu hingga SMP, tetapi kenyataannya, ia hanya mendapat gratisan buku pelajaran, sedangkan bayarannya masih lebih mahal dari sekolah swasta dekat rumah. Kendati itu tak begitu soal bagiku sejauh ia tampak sungguh-sungguh belajar. Malah aku mendorongnya ikut les sebagaimana teman-temannya yang lain walau ia sering menolak.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]
“Kasihan emak”, elaknya berkali-kali.
“Bersekolahlah sungguh-sungguh, nilai membanggakan, masa depan yang lebih baik, begitulah mestinya membuktikan bahwa kau kasihani emak,” jelasku berkali-kali juga. Jika ia bosan mendengar nasihatku, ia bertingkah agar tak lagi membuatku bicara.
Seperti pagi itu, aku di ambang pintu, hendak pergi ke sawah Bu Lurah, sementara ia sedang tak lagi sekolah. “Emak masih kuat membeayaimu. Apalagi bapakmu tidak punya banyak penghasilan, masih harus menghidupi keluarganya juga. Tanpa melibatkan bapakmu, jika kau memang ingin ke SMEA kabupaten, ya, mendaftarlah ke sana. Nanti Bu Hartuti bersedia kau boncengi setiap berangkat kantor pagi demi mengurangi uang transportmu katanya. Ia sudah menawarkannya padaku sekiranya jadi.“
“Tergantung bapaklah, Mak. Jika ia tidak bersedia, ya, tidak.”
“Jangan begitu!…”Belum selesai aku bicara, ia bernyanyi keras-keras, menutup pintu, membuatku segera bergegas.
Ketika aku pulang dari tanam padi sore itu, aku tidak begitu memperhatikan perubahannya. Aku terlalu lelah. Anehnya, pagi ini selagi aku mencuci di tempat Bu Hartuti, bapaknya Rohana menemuiku.
“Aku tadi ke rumah, membujuk Rohana agar mau mendengarku.”
“Kemarin dia bilang ingin sekolah di SMEA kabupaten jika kau bersedia membeayai. Tapi kukira aku pun bisa mengusahakannya tanpa bantuanmu. Biarlah, aku sudah bertekat sebisaku kendati harus mencuci kotoran di kakus tetangga.” Aku tak ingin tampak lemah di depannya.
“Aku sudah bilang akan membantu, tapi ia tetap marah padaku.”
“Kau tahu sendiri, aku selalu mendorongnya untuk baik terhadapmu.”
“Aku tidak menyalahkanmu. Sekarang ini aku minta tolong lagi, nasihati dia untuk tak menyalahkanku tentang kita. Juga bahwa aku memang tidak bisa berjanji padanya akan menanggung semua beaya sekolahnya, tapi aku akan bantu transportnya kendati tidak dengan membelikannya motor.”
“Masakan ia minta dibelikan motor?” Aku mendelik.
“Ini hanya dugaanku saja mana tahu ia punya pikiran begitu.” Ia merogoh kantong celana. ”Ini tolong berikan padanya untuk bantu bolak-balik cari sekolah sementara ini. Suruh katakan kalau ia minta diantar untuk mendaftar atau apa, aku akan usahakan bisa.”
Seperti biasa, aku menepisnya. “Kau sampaikan sendiri sajalah! Aku tidak mau terlibat sampai soal uang”.
Ia tampak tak heran, kembali memasukkan uang itu, berpamitan, juga terhadap Bu Hartuti, lalu pergi.
Malam hari, selagi di depan TV, aku mulai mencari tahu tentang hal itu. “Tadi pagi bapakmu bilang kau marah padanya.”
“Ya, aku marah sama bapak. Saya pikir, mengapa ia akan membeayaiku hanya sebisanya? Itu kan berarti tidak sebesar yang kubutuhkan, tetapi sebesar yang dia ingin berikan. Salah sendiri gonta-ganti istri, anak di sana sini, sedang penghasilan saja tidak tentu. Egois!”
“Rohana, jangan cerca orangtua sendiri!”
“Bukankah bapak memang tidak belas kasihan dengan perempuan? Masa emak bekerja keras menghidupiku, tapi ia enak saja menganggapku anaknya selagi besar, selagi kecil malah enak-enakan main perempuan, meninggalkan istri yang satu, cari istri lain lagi, … Sekarang ini aku masih sering mendengar kelakuan bapak yang buruk itu. Bapak kan semakin tua, masa tidak semakin berfikir layaknya orang tua? Dan pasti dia mendekatiku hanya karena suatu kali ia butuh anak perempuan untuk merawatnya, begitu? Sedang emak, selalu membelanya tiap kali aku mengerutuk bapak. Aku bingung sama emak. Kenapa emak terima ditindas begini?”
Sekali tarik, aku nyaris menampar pipi anak itu.
Ia bangkit, menjauh. Air matanya meleleh. Mungkin ia tidur di depan TV sambil menekan kemarahan pada bapaknya, juga padaku.
Aku meringkuk di tempat tidur. Pikiranku melayang ke antah berantah. Andai bapak ibuku masih hidup? Andai saudaraku satu-satunya tinggal di dekatku dan hidup berkecukupan? Sekarang, milikku satu-satunya hanyalah Rohana. Kini usianya lima belas tahun lewat. Ia mulai jeli menilai, berani katakan yang dia ingin katakan. Tapi biarlah ia melakukannya. Kata Bu Hartuti, anak-anak memang harus dibiasakan berani menilai. Ia kepala sekolah teladan, dan omongannya senantiasa didengar banyak orang. Tapi jika kuminta Rohana bersikap baik pada bapaknya, bukankah itu bagian dari budi pekerti yang harus kutanamkan? Bahwa sekali tempo aku marah, wajarlah, betapa pun, aku belum terbiasa dinilai.
“Rohana, sini kau lihat!” halauku usai kupersiapkan sarapan.
Tampaknya ia baru merapikan almari pakaian. Tangannya memegang beberapa kain jarik tua.
“Semiskin-miskinnya emak, seperangkat perhiasan ini lebih dari cukup untuk kau pakai mencari sekolah. Jadi tak perlu repotkan bapakmu.”
”Mak, ini bukan lagi tentang beaya sekolah. Tapi sikap bapak itu seringkali menakutkan. Hukum karma, Mak! Mak percaya?” Sedikit pun ia tidak menaruh perhatian terhadap barang-barang emas itu.
“Sudahlah, yang penting pada sikapmu. Apalagi sekarang kita sudah punya jawabnya, kau sudah pasti lulus dan tahu, emak punya simpanan untuk kau pergunakan. Jangan lupa amplop undangan kelulusan itu ditaruh di tempat Mak biasa meletakkan dompet.” Kualihkan pembicaraan sebelum beranjak dari hadapnya.
Malamnya bapak Rohana datang, memintaku untuk membujuk Rohana keluar. Tapi anak itu tetap tak mau menemuinya dan ia mungkin memancing, “Sini undangannya, biar aku menghadiri pengumuman itu.”
Aku berfikir sejenak, ada rasa tak rela untuk menyerahkannya.
Di luar dugaan, Rohana datang tergopoh, menolak bapaknya. “Tidak perlu! Bukan bapak yang membeayai sekolahku, tapi emak! Bapak pulang saja ke istri ketiga bapak itu!” Ia sambar amplop itu, lari cepat ke kamarnya, menggugu.
Kami berpandangan sejenak. “Biar aku menenangkan pikirannya.”
Mantan suamiku itu pun mengangguk dan pergi.
Berikutnya, malam itu tak ada suara Rohana, tak ada suara TV dan tak ada percakapan kami berdua. Tapi pagi hari ia sudah memasak, mempersiapkan makan pagiku. Ia bangun lebih awal dan memborong semua pekerjaan. “Tunggulah emak biar kau tak lelah menyusul ke sekolah!”
“Demi emak yang telah bekerja keras untuk memintarkanku. Toh tidak tiap hari aku lakukan ini.”
“Emak bersyukur kau tak perlu mengulang.” Kututup obrolan pagi itu.
Waktu berdetak mendebarkan banyak wali murid. Tak terasa sudah hampir tiga jam aku meninggalkan rumah. Dan sebelum acara itu tuntas, seorang panitia membisikiku, ada seorang tetangga menjemputku pulang. Entah mengapa perasaanku mulai tidak nyaman. Kecurigaan semakin mencekam ketika kuketahui ada tiga orang tetangga menjemputku. Sampai di rumah, kulihat orang berduyun memenuhi halaman, sedangkan bapak Rohana memperdengarkan tangis dan sekian orang mengerubuti sambil menghibur. Kedatanganku meredam suara-suara itu, semua orang menoleh ke arahku. Terlihat kain-kain jarik tua terentang dekat kerumunan. Kakiku melemas dan berusaha mendekati siapa yang ditutup kain di tengah ruang.
“Ia ditemukan menggantung di pohon mangga sebelah rumah oleh Bu Mariyo pagi ini,” ujar Pak RT di telingaku. Sebelah tangannya menopang tubuhku dari belakang.
Kurasa kepalaku meledak, menjadi puing-puing debu, berterbangan tertiup angin. Kemudian tanah yang kupijak amblas ke dasar bumi, menelungsupkan ragaku. Jika saja waktu masih bisa diputar ke belakang, ingin kugantikan kematian anak perempuan yang baru saja kululuskan.***
(Termuat dalam buku Perempuan Berlipstik Kapur, Andi Publisher, 2012)