Foto: M. Naufal Waliyuddin
Foto: M. Naufal Waliyuddin

Ajar Upakara: Mengenang Jejak Tapak Iman Budhi Santosa

Lelaki kurus itu berjalan kaki, menyusuri jalanan Malioboro bersama hujan, terik siang, dan sunyi malam. Ia terkadang singgah di Balai Bahasa atau ikut hadir mengayomi komunitas-komunitas kecil para penulis di Yogya. Lelaki itu mengenakan kemeja dengan saku baju yang tak pernah lupa menyimpan pena dan kertas yang dilipat. Konon, dua benda kecil itulah perkakas utamanya untuk menetaskan puluhan buku.

Begitulah kesan yang disampaikan para hadirin dalam acara “Ajar Upakara: Doa dan Bincang Karya Iman Budhi Santosa”. Kegiatan ini berlangsung di Plataran Dhadhapwaru Penerbit Interlude, Berbah, Sleman, Yogyakarta, pada sore hari Sabtu (14/12/2024) yang semerbak hujan sedari pagi. 

Maksud acaranya tak lain untuk mengenang sosok Iman Budhi Santosa (IBS) sambil membincang karya beliau yang akan terbit secara anumerta berjudul Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung di awal tahun mendatang. Perbincangan ini sekaligus untuk merayakan haul (peringatan wafat) sastrawan kelahiran Magetan itu, yang telah berpulang pada 10 Desember 2020 silam.

Cak Kandar, selaku tuan rumah sekaligus inisiator kegiatan, menjudulinya “Ajar Upakara” karena ingin meneladani “semangat sinau/belajar” dari IBS. Upakara, menurutnya, diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti laku yang baik. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara wedangan ke-3 yang telah diselenggarakan Penerbit Interlude. 

Suara hujan di luar masih membersamai kami ketika acara dibuka dengan kesaksian Mustofa W. Hasyim tentang sosok IBS yang dilanjutkan dengan doa untuk mendiang. Kemudian Mbak Nora Septi Arini dan Mas Dinar SAKA membacakan karya puisi IBS secara apik dan menyentuh.

Masuk Surga karena Tangan Kapalan

Di tengah kesaksiannya, Mustofa W. Hasyim menuturkan pesan menarik, “Sastra itu mencerdaskan dan membebaskan. Kalau ada orang yang baca sastra tapi nggak cerdas, kudu dipisuhi kui (harus diumpat).” Hadirin pun ikut terpingkal mendengar penyair humoris itu. Bagi Pak Mus, dengan membaca karya-karya IBS, orang akan jadi banyak mendapat ilmu, dan ini juga dapat dihitung sebagai amal jariyah bagi almarhum sebagai ilmu yang bermanfaat. 

Pak Mus melanjutkan bahwa dalam sebuah riwayat, ada sahabat nabi yang masuk surga karena tangane kapalen, sedang orang yang rutin beribadah justru tidak masuk daftar penghuninya. Menurutnya, itu merupakan simbolisme bahwa kerja keras dan dedikasi merupakan kunci mendapat kasih sayang Tuhan. Dan sosok IBS telah membuktikan itu. Tangannya kapalan untuk menghasilkan karya-karya bermutu, puisi-puisi yang baik dan menyentuh. Dengan begitu, IBS termasuk golongan muhsinin, orang-orang baik yang menggunakan kerja keras menulis sebagai tirakat berbagi kebaikan. Ia mungkin saja masuk surga dengan karcis berupa puisi, kelakar Pak Mus.

Ajar Upakara: Mengenang Jejak Tapak Iman Budhi Santosa
Foto: M. Naufal Waliyudin

Om Herry Mardianto, penulis sekaligus editor senior, juga menyampaikan kesannya tentang IBS. “Dulu awal perjumpaan saya dengan Mas Iman itu, wah, iki gali seko ngendi? (Ini preman dari mana?). Soalnya waktu itu dia masih gondrong, item, sangar, tiba-tiba saja masuk ke Balai Bahasa saat itu.” ujarnya sambil tertawa renyah dan mengenang. “Eh, begitu kenal, dan pas dia cukur, sosoknya tampak santun, baik, sederhana. Nah, masa itu tempat favorit kami itu ya di pawon (dapur) Balai Bahasa, karena di situ kami bisa merokok bareng sambil ngobrol. Dan hampir semua judul terbitan Balai Bahasa, yang bernuansa Jawa itu, ya berkat jasa Mas Iman semua.” 

Perihal kebiasaan IBS, Om Herry juga masih teringat betul. Penulis buku puisi Ziarah Tanah Jawa tersebut selalu saja membawa tas kresek hitam atau loreng-loreng, yang isinya kertas, pulpen, dan terkadang buku untuk diberikan ke orang. Demikianlah kesannya.

Pribadi yang Peka dan Peduli Wong Cilik

Ketika tiba giliran saya, yang sudah ditugasi untuk membahas buku Jejak Tapak, sebagai anak muda mentah tentu mengaku keder. Pasalnya, begitu sampai di lokasi kegiatan, hadirin mayoritas orang-orang yang sudah senior dan sering bersentuhan langsung dan intens dengan IBS. Sementara saya hanya kedekatan psikologis batin, sedang raga dan jarak sosial jauh dengan mendiang. 

Namun begitu, saya menggarisbawahi sejumlah poin dalam buku memoar Pak Iman. Isinya terbagi ke dalam tiga babak: fase masa kecil di Magetan (Gunung Lawu), fase bekerja di kebun teh Medini (Gunung Prau-Ungaran), dan fase ketika IBS pindah kerja ke proyek Teh Rakyat di Boyolali (Gunung Merbabu). 

Semua tulisannya (64 esai) di buku ini berangkat dari disiplin mencatat yang sungguh terperinci tentang hal-hal yang ia alami dan renungkan. Membacanya, saya menyadari betapa sosok IBS lahir dari didikan keluarga—terutama seorang Kakek—yang begitu sabar, pekerja tekun, sekaligus filsuf yang rutin bertanya dan mempertanyakan. IBS dididik untuk cermat, peka, dan rajin mencatat—sesuatu yang semula dibencinya.

Walhasil, disiplin masa kecil itulah yang menjadikannya sastrawan besar dengan kepedulian yang autentik. Tidak heran apabila isi buku memoar ini, demikian juga dalam buku-bukunya yang lain, IBS selalu berupaya merekognisi peran dari sosok-sosok figuran sejarah: wong cilik. Tamsilnya merentang dari teman sekolahnya (SR) yang tak pernah jajan, tidak bawa sangu, dan rutin jalan kaki lebih dari satu jam, kemudian kisah seorang penggergaji kayu bernama Glumut, hingga kaum perempuan pemetik teh di perkebunan. 

Dari buku memoar ini pula saya mencerap banyak momen langka dan puitik, yang barangkali hanya Pak Iman seorang yang mengalami kesemuanya. Ada peristiwa umbi uwi yang ngorok, bunga pisang (onthong) yang berbunyi sebelum muncul, perjumpaan dengan bayi bajang, pengalaman tiga jenis petir, dipertemukan dengan kuburan burung, adegan teluh braja, hingga bunuh diri kalong. Kumparan peristiwa tak lazim itu adalah harta karun terbesar yang kemudian dicatatnya, diserap, dimaknai, dan dibagikan kepada pembaca. 

Keistimewaan itulah yang sayang dilewatkan oleh anak muda masa kini. Itu juga sekaligus rentetan bukti kepekaan dan empati kuat yang sudah mekar sedari usia dini dalam diri IBS. Ia memang penyair Jawa, yang juga menulis secara dwibahasa. Tetapi, tidak seperti nuansa “Jawa” yang dibayangkan kaum muda hari ini sebagai menggelikan—yakni Jawa kerajaan, glorifikasi kejayaan ala kuasa keraton yang bertaburan sosok-sosok elite. Tidak. Pak Iman justru merekognisi “Jawa yang sehari-hari”, orang-orang biasa, yang juga masih hadir hari ini sebagai kenyataan hidup di sekitar kita. 

Panorama itulah yang disoroti IBS. Ia sosok perenung, pemikir, penafsir hidup yang berselimut nuansa Jawa yang kuat. Bukan Jawa glorifikasi ala kerajaan, melainkan jawa sehari-hari, kenyataan hidup yang ditempuh dan ditekuni orang-orang kecil (wong cilik), yang sering kali lebih ampuh, lebih tabah, sakti dan lebih punya kelapangan hati jauh melebihi kita-kita yang terdidik rakus dan ambisius.

Karenanya, silakan nantikan terbitnya di awal tahun depan.***