Menu

Adam | Puisi-Puisi Otto Sukatno CR

Adam | Puisi-Puisi Otto Sukatno CR | Sumber: https://jateng.tribunnews.com/

 

ADAM DAN PENJUAL BUAH

mendapat tawaran-tawaran cinta
dari pedagang buah itu
Adam tiba-tiba merasa terasing dari dirinya
ia terpikir tentang perkawinan
“adakah dari sini akan lahir peradaban kita?”

ketika masih bertanya-tanya, buah-buah ranum itu
telah dihidangkan di atas meja “tidak
aku tidak mungkin menikmati buah sesegar ini
tak pantas bagi si lemah macam aku” katanya
sambil memegangi buah jakunnya yang naik turun

ketika malam tiba, ia tak mampu menahan godaan
hidangan buah-buah ranum itu. dengan malu-malu
Adam mulai meremas-remas dan akhirnya mengunyahnya
“kalau begini, sejak dulu-dulu buah ini
Langsung kucuri dari pohonnya dan kubiarkan tumbuh di hatiku”

Adam tak sempat berkata-kata selanjutnya
ketika waktu mulai berjalan, mengikuti peradaban
ketika fajar mulai datang!
1995.

 

 

 

GARIS TANGAN

engkau menggeliat dari rahim sejarah
memprasastikan jejak, nasib dann waktu
pada embun kehidupan, minta dimaknai
puncak pendakian Adam dan Hawa akan penghayatan rahasia buah khuldi

0, orang-orang yang menggeliat dalam abad-abad sejarah
kini kelam hitam waktu minta sesaji
tanah dan air, bumi pertiwi, empat penjuru angin
dimana Khidlir mengalir Ilyas melintas
pada jagad kedirianku, hingga rumah dibangunkan
ranting dan tiang dan doa disembahyangkan

di sini, kita tak perduli teror
juga bisikan-bisikan maut, yang menguntit rasa takut
sebab kita kan tetap bangunkan kubah
hingga kakek-nenek, ketika anak cucu menghambur
dan Adam-Hawa lahir beribu kali, di sini
di garis tangan
nasib diri!
Yogyakarta, 1995

 

 

 

 

 

UPACARA MEMBANGUNKAN RUMAH

kesetiaan dan janji terikat dalam irama tarikan nafas
hu, syahadatku menyatu, Adam-Hawa menawarkan pohon palma
mengintip rembulan di gaib singgasana arsy
ketika ahad hingga sabath bergerak menjelma
peristiwa, sejarah dan kebaktian
dan doa puja mantra disembahyangkan ke langit cita, hayal masa depan

air, angin, tanah dan api
kukirim doa bagi Mustafa di puncak sunyi, hira’mu
sawah ladang, hingga daun ranting dan tiang
hingga alif ditegakkan, rumah dibangunkan
dan bak, telaga kasih sayang, dibuka dan dilayarkan
menuju cakrawala, laut keberadaan

kuuntit Khidhir yang mengalir dan Ilyas yang melintas
di kiblat empat dan lima pancer, jantung hatiku, Adam-Hawa keberadaanku
kudirikan Ka’bahku, hingga waktu
tujuh warna mejikuhibiniu, langit mendaki, laut berebut
hu, rahsaku-rahsamu, bergerak menjelma ruang tak bernama
Muntaha!

telah dipertaruhkan seorang Adam-Hawa bagi kedirian
azali-abadimu, hu, hu, hu, nur rupa, nur rahsa, nur cahya, cahayamu
robbi, robbi, robbi, bumi minta dimaknai
hingga memberat puja doa, dogma dan mantra di puncak cahaya
manusia, surga-neraka
1995.

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

 

 

SYAHADAT WAKTU

syahadatku, syahadat waktu
hu, Mustafa tegak mengangkat janji
bagi bumi yang mati, lembah jahili

syahadatku, syahadat bumi
hu, di ufuk cakrawala, maut bangsa
kemusnahan mengintai di pusat kebuasan dan nafsu
kebringasan cakar-cakar raksasa, Machiavelli
mengeram di dada, anak-anak negeri

syahadatku, syahadat air
hu, ombak bergolak, matahari menepi
budaya, politik, ideologi dan teologi, mati suri
di cengkeraman dzajal-dzajal raksasa
bermata rekening dan kapitalisme dunia

syahadatku, syahadat tanah
hu, bumi menyempit, jiwa-jiwa sakit
obat penenang dan tuhan-tuhan baru
serta filsafat, santapan lezat umat
hingga tak tahu jalan bertobat, kembali memaknai
tanah asal mula!

syahadatku, syahadat api
hu, robbi. amarah-nafsu, membara di setiap ujung negeri
membakar amanat nabi-wali, menghanguskan jati diri dan nurani
allahuma robbi, kemana jalan kembali
anak-anak zaman ini, lebih suka menumpuk gengsi dan harga diri
hingga kubah di jantung nuraninya, lapuk-ambruk
tak bangkit-bangkit lagi

hu, syahadatku, syahadat sunyi. sendiri dan sepi!

Yogyakarta,l999

 

 

 

 

OPERA RAMA SINTA

di hadapan api penyucian, Sinta nampak tegar, tanpa setitikpun butiran air mata
namun ia tak segera menceburkan dirinya
“masuklah!” Ujar Rama, tenang seakan tanpa dosa
“bila engkau belum terjamah Rahwana api akan menyelamatkanmu!”

mendengar perintah itu, Sinta menatap tajam wajah suaminya dan balik berkata
“jika api benar-benar menyelamatkanku, aku justru ragu atas kesucian
dan kejujuran kuasamu, maka sebaiknya masuklah terlebih dahulu
atau kita masuk sama-sama merasakan panasnya dosa, sebab aku tak mau lagi
tertipu untuk kedua kalinya
dan aib dunia hanya dipikulkan di pundak Hawa!”

Rama terperangah tak mampu berbuat apa
sambil menatap wajah Sinta,
penuh tanda tanya?
Yogyakarta., 2009

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

OPERA RAMA-SINTA 2

maafkan aku Sinta, kata Rama terbata,
api penyucian ini kusiapkan, bukan untuk menguji cinta dan kesetiaan. tetapi sekedar membersihkan daki dosa perjalanan, menjaga martabat kewibawaan, bagaimana seorang lelaki, menerima kembali istri yang telah bertahun pergi!

di depan api penyucian, Sinta termangu menatap nyala api dan tak segera menyeburkan diri, karena tahu, hanya Ibrahim, manusia yang tak terbakar api
“kanda”, kata Sinta, “aku menyesal kau membuat blunder atas keputasan, mencurigai kesucian!”

mengapa Tuhan menciptakan perempuan, jika ia tak punya hak atas diri dan bertahun dipersalah dan dinistakan. padahal hanya demi kehormatan, tahta lebih culas-ganas ketimbang taring dan kuku harimau belang
dan berkali telah menetestumbalkan darah-airmata persaksian, pengorbanan

sebelum benar-benar lumat dalam api suci aku bertanya
untuk apa kehormatan dan kesucian dipertanyakan-dipertahankan
apakah dengan kematian, kebenaran datang menjadi nyata
apakah dengan kesucian cinta dan kedamaian hadir menampakkan wajahnya

jika benar adanya kanda, Hawa tak akan rela membimbing Adam merintis jalan
membuka pintu surga, setia menghidangkan buah-buah ranumnya
dan semua wanita memilih mati sebelum dilahirkannya!

kanda, apakah aku harus menyesal karena tak menerima dan melayani Rahwana?
karena kini aku mengerti, bukan karena cinta ribuan nyawa ditumbalkan
tetapi demi gengsi, citra, wibawa dan arogansi kuasa!

dalam tatapan mata rakyat Ayodya, Rama tak bisa berbuat apa-apa, wajahnya cemas dan tersipu, ia cepat-cepat mengambil keputusan, upacara ditangguhkan hingga batas waktu yang tidak ditentukan!
2014.

 

 

 

 

 

TARIAN BUMI BULAN MEI

Mendadak hilang bahasa, ketika bencana
menggoyang tanah, rumah-rumah, jalan dan kesadaran
juga cuaca. dan hati nurani pun
terbengong; memaknai diri
masihkah tuhan bertahta
di bilik jiwa?
* * *
Pagi, meliuklenggokkan cuaca
jiwa dan kesadaran juga hujan
bahkan tuhan yang bertahta di hati nurani
merintih, mata membasah, tak kuasa melepas kepergian
kenangan. badai menggenapkan desah keterasingan
anak-anak manusia diatas tanah pijaknya

dingin malam, hujan menari mempertegas tarian bumi bulan mei
meliuklenggokan badai, gejolak dan goncangan jiwa
27 Mei pagi buta. 5,9 skala Richter kecemasan
mengantar jiwa-jiwa kembali!

juga air mata dan trauma
goncangan bumi bulan mei kian manari, tak bisa ditebak kapan
arah hadirnya
memasuki rumah sendiri, sunyi, cemas hilang keberanian
seperti setan ketakutan dikejar-kejar manusia
untuk diperjualbelikan obral, di layar gengsi dan kapitalisme harga diri

ubahnya jiwa, pun gelisah di lubuk sanubari
tarian bumi bulan mei, sebentar-sebentar, rampak gendang menari
terkejut dan berlari, terkejut dan nglumpruk, diam berpasrah diri!
hari-hari siaga, awas dan berjaga, berbalut trauma dan curiga
tidur berselimut kecut, terkejut dan berlari
memaknai goncangan-goncangan tarian bumi bulan mei
seperti l998, ketika sepatu lars, pelor dan senapan
berdesingan, mencari sasaran pelatuk dibidikan
jiwa-jiwa yang ditumbalkan kekuasaan

mungkin inilah saat kita menjemput impian pagi
bahwa kita saling bertemu atau saling berpisah
bahwa kita saling bercinta atau membenci
bahwa kita saling, ah entahlah
ini malam hujan demikian deras, memaknai tarian bumi bulan mei
memaknai sirine yang meraung-meraung
mengabarkan jiwa yang terluka atau meregang perjanjian

biarkan tarian bumi bulan mei dan hujan menari, memaknai cuaca
ketika langit bersabuk dan petir, mengisyaratkan sangkakala
dan binatang melata berloncatan; gelisah menebak arah
juga pada tatapan-tatapan mata yang suwung dari makna
atau tubuh-tubuh meringkuk di bawah tenda-tenda
gelisah dikejar goncangan-goncangan hingga ke dalam mimpi
hingga ke sanubari, terkejut dan berlari
terkejut dan tak tahu sangkan paran diri
meski kemanapun pergi
tak ada tempat aman yang benar-benar menentramkan
selain lubuk jiwa dan kepasrahan, cahaya ilahi
dan tarian bumi bulan mei
masih melenggang-lenggokkan takdir dan sanubari
hingga kini
Tak habis sudah manusia memaknai takdir diri!

Yogyakarta, 2006

 

 

 

 

 

AROMA KOPI MALAM

kopi malam, hangat menyedu aroma tubuhmu
hitam sewarna waktu, legit pahit serasa nasib
kuhirup dalam diksi dan imaji puisi, mengurai mimpi, janji buah kuldhi

kepul asap-gairahnya adalah wangi peluh tanpa parfum gincu
menggoda dan menggubah kisah purba
tentang bulan yang purnama di atas pelaminan
bersanding sepasang kembar mayang
tentang cinta, beban alam yang dihias sejuta imaji khayalan
bersanding dengan nyanyian, asmaradahana kasmaran

kopi malam, hangat menyedu aroma tubuhmu
kita tidak tahu, dari mana musti mulai menyeruput mencicipi
tahu-tahu sudah berbaring jengah lelah, lelap mimpi

dan terbangun oleh rengek bayi minta disusui, disuapi
meminta baju dan memanggil guru mengaji dan mengkaji
berbiaya tinggi yang menguras sungsum, menggores hati
dan memutar otak, kadang vertigo, kadang pusing kanan-kiri

dan terpana, menjadi manusia, mengaji kisah makna dewasa
menjadi orang tua, yang lelah, lemah, lena
tak terpikir lagi diri sendiri
apalagi diksi dan imaji puisi, mengurai mimpi dan janji buah kuldhi

sampai tahu-tahu, kopi malam tinggal ampas pahitnya
mengerak di dasar cangkir jiwa
ketika kopi malam menyedu aroma dengkur nafasmu
bersanding tanpa tegur sapa, berguling tanpa sentuhan

karna aroma kopi malam telah leleh
menjelma puja-puji doa kasih sayang
lalu sepi

2015.

Tuliskan komentar