“Cukup! Tinggalkan aku sendiri.”
“Sa?”
“Aku tidak perlu mengulanginya ‘kan?”
Siang ini lagi-lagi awan menghitam. Lengkap dengan beberapa dedaunan yang diranggas semilir angin, melayang ke sana-sini. Saat itu pula kutangkap dari kejauhan, di balik bingkai jendela tua ini, kau bergeming di tengah gerimis yang melepaskan diri dari dekapan awan. Anehnya kau mengacuhkannya, alih-alih terusik.
Dalam ketakjuban itu, tiba-tiba kau menatapku tajam. Tak kusangka kau berhasil menangkap tatapanku yang penuh tanya, padahal sudah berhati-hati agar tak tertangkap basah mencuri pandang lagi.
“Sudah berapa lama?” tanyanya menyidik sembari mengatur posisi duduk.
“Sebentar aku pikir-pikir lagi,” godaku sembari menyuguhkan segelas kopi. “Sepertinya sejak langit di atas sana mulai berubah warna?” lanjutku yang berhasil menarik seutas senyum hangatnya.
“Ya, tadi langit begitu cerah bukan?” ungkapnya sambil tersenyum simpul.
“Sepertinya begitu” ujarku tanpa mencoba mengusik ketenangannya. Sebab aku telah paham, saat dia berujar dengan diakhiri tanda tanya, sesungguhnya dia tak benar-benar bertanya. Ada maksud tertentu dan memang begitulah dia. Seorang perempuan yang begitu rumit.
Jikalau kuteruskan, ada kekhawatiran seperti terakhir kali. Dengan sengaja dia mendiamkan semesta. Seolah-olah di dalam dunia yang mahaluas ini hanya dia seorang diri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi, kadang kala tak bisa berdiam diri begitu saja.
“Apakah ada sesuatu yang mengusikmu?”
“Contohnya?”
“Kamu boleh cerita padaku, Sa.” Dia hanya bergeming. “Berkata aku butuh bantuan bukanlah sebuah dosa,” lanjutku kali ini berhasil memancing perhatiannya. Namun sebatas terpancing dan aku masih tak mendapatkan jawaban.
“Kamu ‘kan juga tahu, setiap manusia mempunyai caranya sendiri.” balasnya setelah berkali-kali menyesap minuman di genggaman. “Tenang, aku bisa mengatasinya.” lanjutnya mencoba menggoyahkan keraguanku.
Setelah itu aku hanya bisa bergeming, padahal aku sangat ingin berkata bila dia tidak sendiri. Namun ternyata, aku belum bisa menerobos garis pertahanannya yang kokoh itu.
“Ini apa?” ujarku saat dia menyodorkan selembar uang kertas. “Hei, kau anggap aku apa?” ungkapku bernada tersinggung. Dia mengernyitkan dahinya lalu kembali menarik tangannya ke dalam saku.
“Terima kasih Sam. Lain kali aku akan mentraktirmu.” ujarnya sembari menggeser kursi memberi aba-aba akan pergi.
“Memangnya ada tempat paling nyaman selain di kedaiku ini?”
“Ah, mulai sombong”
“Bukan sombong Sa, tapi percaya diri” Dia sedikit menyunggingkan bibirnya, sungguh terasa sangat menawan. Bila diibarat seduhan kopi, perpaduan gula, bubuk kopi dan komposisi airnya sangat pas. Sayang, sepertinya aku lupa. Seberapa pun nikmatnya seduhan kopi itu, rasanya tidak akan berubah. Pahit masih menjadi ciri khasnya.
Ya, begitulah dia. Seorang perempuan dari masa lalu–teman masa sekolahku. Sudah lama kami tak saling menyapa dan dua bulan lalu saat musim sedang kemarau keras, tiba-tiba bayangannya muncul bersamaan dengan debu yang mengepul di balik pintu. Matanya membeku, begitu pula denganku.
Begitupun selepasnya, perempuan yang kuakrabi sebagai Sasa selalu datang diwaktu yang sama. Namun penghujan telah membawanya tiap saat. Tidak ada lagi jadwal, dia bisa datang dan pergi sesukanya. Seperti saat itu, ketika dia bersemayam di bawah kabut awan yang menghitam. Entah dalam suka cita atau dalam kegundahannya, Sasa seolah menapaki jalan setapak semesta yang kala itu tak bersahabat. Setidaknya bagiku, hujan dan istilah puitis lainnya bukanlah hal menyenangkan. Hujan adalah hujan dan dia tetaplah menjadi dia–sang penguasa sunyi. Dia adalah perempuan sunyi yang terbunuh oleh kesunyiannya.