Acara Bincang-Bincang Sastra kembali hadir. Studio Pertunjukan Sastra dan Taman Budaya Yogyakarta kini membangun komitmen untuk bekerja sama lebih erat lagi. Mengusung tema Transisi: Generasi Muda dan Dinamika Media Sastra, acara Bincang-Bincang Sastra akan berlangsung pada Jumat, pukul 14.00–16.00 di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta. Hadir selaku narasumber, Jayadi Kastari selaku redaktur sastra SKH Kedaulatan Rakyat, Tia Setiadi selaku redaktur puisi basabasi.co, dan Ilham Rabbani selaku penyair dan mahasiswa pascasarjana Ilmu Sastra UGM. Acara ini menampilkan pembacaan puisi oleh Lintang Kumalasari dan musik puisi Jejak Imaji. Peserta acara ini dibatasi untuk 30 orang dengan konfirmasi kepada panitia dan menaati protokol kesehatan Covid-19.

Di masa pandemi ini kita berada pada perubahan demi perubahan. Demikianlah sifat zaman, terus berubah. Tanpa kecuali, perubahan itu pun terjadi di arena sastra, khususnya arena sastra Yogya. Sastrawan-sastrawan generasi muda yang setiap malam begadang digadang-gadang sebagai penerus dunia lain bernama sastra ini terus tumbuh. Yang sepuh juga tiada henti berkarya. Media cetak dan media daring berjalan beriring.

Senantiasa setiap generasi lahir dengan karakter dan prestasi masing-masing. Senantiasa ada transisi dari kehidupan baru yang tengah dibangun. Di sekitarnya kita mesti beradaptasi, tanggap ing sasmita, menghadapi dinamika yang terus berputar ini. Di dalam arena sastra, rubrik-rubrik sastra baik di koran, majalah, maupun laman-laman di internet bermunculan karya-karya dari nama-nama baru yang segar. Karya-karya itu dihadapkan pada pembaca yang (seharusnya) lebih luas. Satu realitas yang barangkali tidak pernah dibayangkan satu dekade sebelumnya.

Sebuah kenyataanya, sastra yang semula hadir di media cetak, kemudian berkembangan lewat banyak media lain seiiring berubahan dan perkembangan zaman. Lantas kita  menyebut gejala ini sebagai intermedia karya sastra. Generasi muda kini menjadi pengguna teraktif media internet.

Industri informasi membawa kita pada sebuah kecemasan: senjakala media masa cetak. Keberadaan rubrik sastra di media cetak perlahan-lahan hilang. Majalah satra tidak terbit lagi. Semangat untuk terus menerus menghadirkannya tentu saja ada, namun bagaimana dengan distribusinya? Sementara itu, para sastrawan masih akan dihadapkan pada persoalan honorarium. Demikianlah kenyataan yang terjadi dewasa ini.

Dari kulit gejala yang mengelupas itu, adakah kecemasan melihat kenyataan bahwa yang hadir itu hanyalah eksistensi sang “sastrawan”, bukan lagi esensi karya sastra yang diciptakan? Pertanyaan ini hanyalah pandangan subjektif semata yang tentu saja mesti diuji dengan cara menjawab pertanyaan tersebut. (Latief)