Menu

Bincang-Bincang Sastra Edisi 164 | Mendirikan Langgar di Taman Budaya Yogyakarta

Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 164 spesial bulan Ramadan yakni Malam Sastra Seribu Bulan dengan mengetengahkan tajuk “Belajar ke Langgar”. Acara ini akan diselengarakan Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 20.30 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, jalan Sri Wedani 1, Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Irfan Afifi, penulis buku Saya, Islam, dan Jawa (2019) yang akan dipandu oleh Muhammad Aswar. Di dalam acara ini juga akan tampil membaca puisi yakni, Daruz Armedian, Alfin Rizal, Umar Farq, Dinnatul Lailiyah, Anna Zakiyah, dan Fadia Rachma. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

“Langgar atau surau atau musala, lebih-lebih masjid, merupakan ruang bertemu, ruang tegur sapa antara aktivitas keagamaan-kemasyarakatan-kebudayaan. Masjid berdiri sebagai poros, pusat. Namun, rasa-rasanya kini ada yang jadi lain. Terasa telah terjadi pergeseran nilai, bahwa masjid benar-benar menjadi tempat suci, steril,” ujar Latief S. Nugraha, koordinator acara.

“Pertanyaannya adalah, benarkah hubungan atara aktivitas sosial-budaya dengan religi di masjid tak harmonis lagi? Kalau benar demikian, ini masalah, tapi mungkin orang-orang tak memperhatikannya. Karena langgar, surau, musala, masjid bukan sekadar bangunan! Lalu, apa hubungannya dengan sastra?” imbuh Latief.

Sementara itu, dihubungi melalui aplikasi whatsapp, Irfan Afifi yang akan menjadi narasumber dalam acara tersebut menyatakan bahwa, “Kata ‘langgar’ itu berasal dari bahasa lokal-pribumi, susuatu yang berasal dari dalam. Namun, sebagai fungsi ia menampung suatu ajaran yang berasal dari luar (Islam). Langgar oleh karenanya pasti merekam sebuah pertemuan. Ya sebuah sinergi tak menang-menangan serta merupakan peristiwa pertemuan sebuah kebudayaan.”

Kaitannya dengan sastra, di Indonesia tidak sedikit sastrawan yang menghadirkan masjid, surau, langgar, musala dalam karya-karyanya.  A.A. Navis hadir dengan cerpen “Robohnya Surau Kami”, Emha Ainun Nadjib hadir dengan Seribu Masjid Satu Jumlahnya, A. Mustofa Bisri hadir dengan “Satu Rumah Seribu Pintu”, Kuntowijoyo hadir dengan Muslim Tanpa Masjid, Ki Ageng Suryomentaram hadir dengan Langgar, dan masih banyak lagi yang lainnya. Selain itu kita tentu akrab dengan syair puji-pujian berupa karya sastra yang kerap dinadhomkan. Betapa karya sastra dekat dengan kebudayaan di dalam rumah ibadah umat Islam tersebut.

Latief S. Nugraha menyatakan, “acara ini merupakan permenungan bagi kita bersama bahwa telah terjadi pergeseran realitas yang nyata adanya. Langgar dahulu adalah sanggar, semacam kawah candradimuka bagi siapa saja untuk ngangsu kawruh, baik itu ilmu agama, sosial, maupun budaya termasuk kesusastraan. Tradisi yang hangat berlangsung di langgar itu kini perlahan pudar. Ada semacam jarak yang membuat  hubungan antara aktivitas keagamaan menjadi sangat kaku dan tegang bertemu dengan keberagaman. Di sini terbit sebuah pertanyaan untuk direnungkan bersama, benarkan ketika masyarakat rabun literasi maka akibatnya adalah buta toleransi?”

 

Tuliskan komentar