Menu

Bincang-Bincang Sastra edisi 159 | Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia Jilid III

 

Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta, kembali hadir dalam program Bincang-Bincang Sastra yang pada akhir tahun 2018 ini telah sampai pada edisi ke 159. Seperti biasa, dalam rangka tutup tahun gelaran Bincang-Bincang Sastra menyajikan acara khusus bertajuk “Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia Jilid III”. Acara akan berlangsung pada Sabtu, 29 Desember 2018 pukul 20.00 di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta.

Akan tampil dalam acara ini sepuluh penyair yang berasal dari sepuluh daerah di Indonesia, dan kini tengah berproses kreatif di Yogyakarta. Sepuluh penyair itu ialah, Mario F. Lawi (Nusa Tenggara Timur), Chaerussabry (Sulawesi Selatan), Nurul Ilmi Elbana (Jawa Timur), Fitriawan Nur Indrianto (Daerah Istimewa Yogyakarta), Umi Kulsum (Jawa Tengah), Kedung Darma Romansha (Jawa Barat), Sukma Putra Permana (DKI Jakarta), Andre Wijaya (Sumatra Utara), Daffa Randai (Sumatra Selatan), dan Sunlie Thomas Alexander (Kepulauan Bangka Belitung). Akan disajikan pula pertunjukan musik puisi oleh UNSTRAT (UNY), Bob Anwar (Bandung), dan Narasjala (UMBY). Selain itu komunitas Jam Malam akan hadir menampilkan sajian teaterikal puisi. Sebagai refleksi perjalanan kesastraan di Yogyakarta, akan disampaikan orasi budaya oleh Raudal Tanjung Banua.

“Pesta Puisi Akhir Tahun yang digelar oleh SPS merupakan agenda rutin sajian Bincang-Bincang Sastra yang secara khusus dihadirkan setiap bulan Desember menutup tahun lama dan menyambut tahun baru. Setelah pada akhir tahun 2016 dan 2017 lalu SPS menghadirkan acara yang sama, yakni Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia, akhir tahun 2018 ini kami kembali menghadirkan para penyair dari berbagai daerah di Indonesia yang kini secara bersama-sama memaknai kampung halaman masing-masing dari Yogyakarta. Tajuk Yogya Halaman Indonesia berangkat dari kenyataan bahwa Yogya sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin bertandang maupun menetap di bumi mataram ini,” ungkap Latief S. Nugraha, carik Studio Pertunjukan Sastra.

“Meskipun demikian, belakangan santer terdengar citra negatif Yogyakarta yang mengemuka, seperti Yogya kota klithih, Yogya kota intoleransi, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa situasi yang paradoks tengah terjadi. DI tengah kehidupan yang terus berkembang maju ke arah masa depan, masa lalu berupa segala hal yang sifatnya tradidional maupun peninggalan sejarah melekat erat dengan Yogyakarta. Yogyakarta terpotret sebagai semacam wujud pasrawungan antara segala yang di dalam dengan apa saja yang dtang dari luar,” imbuhnya.

Latief menambahkan, “Tidak sedikit generasi muda dari berbagai penjuru daerah di Indonesia menemukan titik balik bernama jati dirinya di bumi Yogya. Begitu pula dengan keberadaan para penyair di Yogyakarta yang dalam kenyataannya mereka datang dari segenap penjuru Tanah Air dan tinggal di sini. Di Yogyakarta mereka lahir kembali tidak hanya menjadi penyair, tapi juga menjadi manusia baru.”

Mustofa W. Hasyim, sastrawan dan Ketua Studio Pertunjukan Sastra mengungkapkan, “Yogyakarta, tidak menelan daerah-daerah dan tidak menelan Indonesia, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang utuh. Meski rasa dan bentuknya bisa dibedakan, tetapi tetap tidak dapat dipisahkan. Itulah uniknya Yogyakarta. Dan, ketika teman-teman dari berbagai daerah menulis dengan tema-tema daerahnya, menggunakan bahasa Indonesia dan ditulis di Yogyakarta, maka karya yang dilahirkannya akan terasa  beraroma daerah, beraroma Indonesia, dan beraroma Yogyakarta sekaligus.”

“Untuk memberi garis tegas mengenai hal itu, SPS dari tahun ke tahun menghadirkan sastrawan dari berbagai daerah dan dari berbagai generasi untuk bertemu dalam satu forum. Semacam menggelar lingkaran untuk menjalin silaturahmi antarpenyair. Yogyakarta, kemudian akan terasa sebagai halaman Indonesia, atau malahan Indonesia menjadi halaman Yogyakarta. Dialektika kultural yang bolak-balik ini mengasyikkan ketika sangu atau bekal nilai-nilai daerahnya pun dilibatkan dalam dialektika bolak-balik ini. Kalau kita perluas, ternyata pengalaman para pelukis, misalnya, juga mirip dengan para sastrawan. Mereka merasa terharu karena diterima menjadi wong Yogyakarta, kemudian mereka kerasan berdiam di Yogyakarta. Demikianlah, semoga catatan singkat ini dapat menjelaskan kenapa ada dinamika kultural yang unik di Yogyakarta, trermasuk dinamika sastranya,” pungkasnya.

 

No Responses

Tuliskan komentar