Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar acara Bincang-bincang Sastra yang kali ini telah sampai pada edisi 149. Pada edisi ini Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan tajuk “Seperti Malam-malam Februari: Tentang Puisi-puisi Agus Manaji”. Gelaran rutin bulanan ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 24 Februari 2018, pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

Dalam acara ini akan hadir sebagai pembicara yakni penyair Abdul Wachid B.S., kritikus sastra Tia Setiadi, dan Agus Manaji selaku penyair yang puisi-puisinya diperbincangkan. Bincang-bincang sastra akali ini akan dipandu oleh Cak kandar. Selain itu, sejumlah penyair juga akan tampil membacakan puisi-puisi karya Agus Manaji yang terhimpun dalam buku tersebut, yakni Wachid Eko Purwanto, Ayya Zakia, S. Arimba, Nora Septi Arini, L. Surajiya, dan Alfia Inayati. Di dalam acara ini Rizki Ramdhani juga akan tampil mengiringi para pembaca puisi dengan petikan gitar dan tiupan serulingnya.

“Agus Manaji merupakan salah satu penyair kelahiran Yogyakarta yang memiliki napas panjang dalam berkarya. Sedikit ulas balik, Agus Manaji adalah penyair yang membuka gelaran Bincang-bincang Sastra, Studio Pertunjukan Sastra. Edisi 1 waktu itu membahas puisi-puisi karya Agus Manaji dan Sedopati Sukandar. Pembicaranya adalah Iman Budhi Santosa. Menurut Iman Budhi Santosa, waktu itu puisi-puisi Agus Manaji sudah tergoloang dalam puisi kelas SMP, sementara puisi Sedopati Sukandar baru tergolong kelas SD. Jadi, kehadiran kembali Agus Manaji dalam acara Bincang-bincang Sastra edisi 149 ini merupakan sesuatu hal yang spesial dan bersejarah dalam perjalanan Studio Pertunjukan Sastra,” kenang Sedopati Sukandar yang lebih akrab disapa Cak Kandar.

Cak Kandar selaku koordinator acara menambahkan, “Agus Manaji ialah seorang sarjana Fisika lulusan Universitas Gadjah mada yang sehari-hari berprofesi sebagai Guru SMK di Kota Yogyakarta. Puisi-puisinya pernah dimuat di majalah Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Majalah Spice, Sabili, Annida, Fadilah, Muslimah, Kuntum, Tabloid Manajemen Qalbu, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bernas, Buletin Sastra Pawon, dan media-media online. Berbagai kegiatan pertemuan penyair acap kali mengundangnya untuk berpartisipasi. Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat di sejumlah buku antologi puisi bersama, di antaranya Lirik Lereng Merapi (2001), Filantropi (2001), Dian Sastro For President #2 Reloaded (2003), Yogya 5,9 Skala Richter (2006), Herbarium (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014), dan sejumlah buku penting lainnya. Dari pengalamannya di jagat puisi Indonesia itu, baru pada tahun 2017 ini sebuah buku berisi antologi puisi tunggal karya Agus Manaji terbit dengan judul Seperti Malam-malam Februari. Hal tersebut menunjukkan sebuah kesabaran dan ketahanan yang kuat dilakukan oleh Agus Manaji sementara tidak sedikit penyair yang belum lama berproses kreatif namun sudah menerbitkan buku puisinya. Oleh karenanya buku puisi Seperti Malam-malam Februari ini menarik untuk diperbincangkan. Puisi-puisi sejak masa awal hingga puisi-puisi terbaru dari Agus Manaji disajikan dalam buku tersebut. Apakah ada perkembangan dan perubahan dalam diri Agus Manaji yang tercermin lewat puisi-puisinya?”

“Penyair yang pernah bergiat di Komunitas Sayap Oetara, Komunitas Jumat Sore, dan Komunitas Puisi Pro ini menjadi salah satu penyair dengan puisi-puisinya yang ditunggu-tunggu. Latar belakangnya sebagai sarjana dan guru Fisika ternyata menjadikan puisi-puisinya memiliki warna tersendiri dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Imaji-imajinya kuat disisipi dan disusupi dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tak jarang diksi-diksi yang berangkat dari ilmu Fisika dihadirkan dan memperkokoh imaji-imaji yang dibangun. Aroma sufistik dalam puisi-puisi Agus Manaji juga menarik untuk dikaji lebih lanjut oleh para calon sarjana sastra dan akademisi sastra di Indonesia,” pungkas Sukandar.