Menu

Bincang-bincang Sastra edisi 147 | Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia

Bincang-bincang Sastra edisi 147

Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia

Pukul 20.00

Sabtu, 30 Desember 2017

Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta.

Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta, menggelar agenda bulanan Bincang-bincang Sastra yang pada akhir tahun 2017 ini sampai pada edisi ke 147. Acara Bincang-Bincang Sastra kali ini bertajuk “Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia Jilid II”. Acara akan berlangsung pada Sabtu, 30 Desember 2017 pukul 20.00 di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta.

Akan tampil dalam acara ini sepuluh penyair Yogyakarta yang berasal dari sepuluh daerah di Nusantara, yakni Nermi Silaban (Sumatra Utara), Wisnu Wardhana (Kalimantan Tengah), Irwan Apriansyah Segara (Banten), Imana Tahira (Jawa Barat), Agus Manaji (Yogyakarta), Jusuf AN (Jawa Tengah), Bernando J. Sujibto (Madura-Jawa Timur), Mira M.M. Astra (Bali), Ilham Rabbani (Nusa Tenggara Barat), dan Muhammad Aswar (Sulawesi Selatan). Akan tampil pula pertunjukan musik puisi oleh Kopibasi dan Soko_Kamaru, teaterikal puisi oleh Ngopinyastro, dan deklamasi oleh Kadha Aditya. Dalam acara ini juga akan disampaikan orasi budaya oleh Tia Setiadi.

“Pesta Puisi Akhir Tahun yang digelar oleh SPS merupakan agenda rutin sajian Bincang-Bincang Sastra yang secara khusus dihadirkan setiap bulan Desember menyambut tahun baru. Setelah pada akhir tahun 2016 lalu SPS menghadirkan acara yang sama, yakni Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia, akhir tahun 2017 ini kami kembali menghadirkan para penyair dari berbagai daerah di Nusantara yang kini tinggal atau pernah tinggal di Yogyakarta untuk bersama-sama memaknai kampung halaman masing-masing. Tajuk Yogya Halaman Indonesia berangkat dari kenyataan bahwa siapapun dapat diterima menjadi warga Yogyakarta, asal mau srawung secara budaya dan sosial dengan aktif dan rendah hati. Begitu pula dengan keberadaan para penyair di Yogyakarta yang dalam kenyataannya mereka datang dari segenap penjuru Tanah Air dan tinggal di sini,” tutur Mustofa W. Hasyim, Ketua Studio Pertunjukan Sastra.

“Jadi, Yogyakarta, dalam konteks ini tidak menelan daerah-daerah dan tidak menelan Indonesia, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang utuh. Meski rasa dan bentuknya bisa dibedakan, tetapi tetap tidak dapat dipisahkan. Itulah uniknya Yogyakarta. Dan, ketika teman-teman dari berbagai daerah menulis dengan tema-tema daerahnya, menggunakan bahasa Indonesia dan ditulis di Yogyakarta, maka karya yang dilahirkannya akan terasa  beraroma daerah, beraroma Indonesia, dan beraroma Yogyakarta sekaligus,” imbuhnya.

“Bagi banyak sastrawan, Yogyakarta kemudian terasa sebagai halaman Indonesia, atau malahan Indonesia menjadi halaman Yogyakarta. Dialektika kultural yang bolak-balik ini mengasyikkan ketika sangu atau bekal nilai-nilai daerahnya pun dilibatkan dalam dialektika bolak-balik ini. Kalau kita perluas, ternyata pengalaman para pelukis, misalnya, juga mirip dengan para sastrawan. Mereka merasa terharu karena diterima menjadi wong Yogyakarta, kemudian mereka kerasan berdiam di Yogyakarta. Demikianlah, semoga catatan singkat ini dapat menjelaskan kenapa ada dinamika kultural yang unik di Yogyakarta, trermasuk dinamika sastranya,” pungkasnya.

Tuliskan komentar